MURID BARU MERUBAH SEGALANYA (Sabtu)
“Gila!
Jantungku berdetak terlalu keras kemarin!” seru Anita saat aku memarkirkan
pantatku di bangku. Aku hanya tersenyum mendengarnya. “Sebenarnya pekerjaannya
itu apa sih? Potongannya cukup rapi untuk seorang cowok, hlo!” lanjut Anita tak
berhenti kagum. “Jangan terlalu kagum. Pamanku tidak sehebat Allah.” Balasku. “Itu
terlalu pasti, Taniaku sayang.” Aku hanya tersenyum lagi mendengarnya. “Paman
hanya seorang manager marketing.” Jawabku. “HEEEH!!! Gak mungkin! Masa’ bisa
memotong rambut sehebat ini?” balas Anita tak mempercayai. “Katanya ada seorang
cewek yang mengajarinya. Cewek itu bakal jadi bibiku. Tapi bukan pacarnya
Paman.” Jawabku, mengeluarkan buku pelajaran dari dalam tas.
“Ah, payah! Benar juga… orang
ganteng pasti sudah memiliki pasangan. Apalagi seorang muslim. Rumit untuk
menjelaskan hubungan Pamanmu, ya!” kata Anita. “Yah, begitulah. Bagaimana besok
denganku, ya? Hahaha… itu masih terlalu jauh.” Balasku, dengan tangan menyalin
pekerjaan milik Anita.
“Apa kau kecewa?” tanyaku pada
teman sebangkuku. “Mo? Apa menurutmu aku menyukai pamanmu? Aku hanya
mengaguminya.” Jawab Anita. “Apa aku harus percaya?” balasku, menggoda Anita.
“Aish…” balas Anita, aku hanya tertawa melihat ekspresinya itu.
Bel masuk pun berbunyi. Guru
biologi memasuki kelas kami yang… cukup bisa dibilang kinclong! Eeehhh… guru
biologi itu membawa seorang murid baru? Suasana kelas menjadi bising
mempertanyakan murid baru itu. Rambutnya yang cukup gondrong hingga bawah
telinganya dan berponi. Dengan tindik yang cukup banyak di bagian telinga kanan
dan kirinya, memperlihatkan jika dia tipe orang yang tidak kusukai. “Hari ini
kita kedatangan murid baru dari luar negri. Perkenalkan dirimu, Nak.” Kata guru
biologi itu. Aku tak mengerti apa alasannya guru itu berbicara bersamaan dengan
keluarnya keringat yang kelihatannya itu adalah keringat ketakutan. Murid-murid
yang lain ramai menanyakan hal yang sama seperti pertanyaanku, ‘kenapa dia
pindah disaat akan menghadapi ujian?’ kalian heran juga? Yah, berarti kalian
tipe orang yang rata-rata. Kalian tidak jauh beda dari aku dan yang lainnya.
Kalian tipe yang mudah beradaptasi.
“Jangan pernah merepotkanku.” Kata
murid baru itu dengan dinginnya. “HHHHEEEEE….?” Balas murid-murid yang lain
dengan sangat serempak. Aku juga termasuk, lhoh… aku benar-benar heran dengan
murid baru itu. Bu guru biologi juga cukup tercengang dengan tingkah murid
didik yang satu ini. Tapi kelihatannya guru ini mengerti benar sikap murid baru
ini. Haah… ini memusingkanku! “Ah! Baik-baik dengan murid yang satu ini, ya.
Dan, silahkan kau pilih bangku yang kau suka.” Kata guru itu dengan gugup. Ini
sangat mencurigakan. Ah, sudahlah, dia juga bukan urusanku.
“Aku akan duduk disebelah cewek
berjilbab dan berkacamata itu.” Kata murid baru itu. Sekali lagi dia sukses
membuat satu kelas tercengang kembali. “Tania? Tapi dia sudah ada teman
sebangku.” Balas guru biologi dengan tingkah grogi dan tak ada kepercayaan
diri.
“Heee… ternyata kalian saling
kenal, ya?” tanya Anita, terheran-heran. “Jika aku mengenalnya, sudah sedari
tadi aku menyapanya.” Balasku, menatap Anita tidak senang. “Eh, kelihatannya
kau tidak menyukainya.” Balas Anita, tak percaya. “Ya!” jawabku dengan tegas.
“Perhatian… baiklah, jika begitu. Tania,
apa kau keberatan sebelahan dengan Hoshikuzu?” tanya Bu guru biologi itu pada
akhirnya meminta pendapatku. “Ya!” jawabku dengan singkat dan tegas.
“Eh, apa kau yakin, Tan?” bisik
Anita tak percaya. Anita menatap murid baru yang bernama Hoshikuzu. Wajah si
anak baru itu terlihat menatap tajam kearahku. “Akuma… Amai…” kata Hoshikuzu
dengan senyum liciknya, kemudian ia pun menghampiriku. Pandangan seluruh kelas
pun tertuju pada kami. “Kau, selalu seperti itu.” Bisik Hoshikuzu, membuatku
membelalak tak percaya. Dia membalas dengan senyum sinisnya. “Ta, Tania, dia
mengenalmu.” Kata Anita. “Benar... Apa kau mengenalku?” tanyaku, menatapnya
tajam. “Bagaimana denganmu?” balik tanya Hoshikuzu. Dia pun menyingkirkan tas
Anita dan membuat Anita pergi dari bangkunya. “Aku akan lebih banyak bertanya
dengan perempuan ini. Jadi kau dan yang lainnya tidak perlu mencemaskanku.”
Kata Hoshikuzu berbicara pada guru biologi yang sedang membeku di depan kelas.
Pelajaran pun dimulai kembali tanpa
ada keributan. Namun itu hanya berlangsung 5 menit. Dan bel pun berdering
dengan nyaringnya. Pergantian jam pelajaran dimulai. Kelas pun menjadi bising.
Dan tidak sedikit pula yang sedang membicarakanku dengan cowok baru ini. “Apa
di Indonesia menyenangkan?” tanya Hoshikuzu, yang sedari tadi saat jam
pelajaran memandangku terus. “Bukankah kau sudah lama ada di sini?” balik tanya
aku, tanpa memandangnya sedikit pun. “Kau tipe yang cukup pintar juga, ya.”
Puji Hoshikuzu. Aku sungguh tidak menyukainya. “Aku dengar orang Indonesia
cukup ramah. Bagaimana denganmu?” tanya Hoshikuzu kembali. “Apa di Jepang
orangnya pada galak-galak?” balik tanya aku kembali. “Baiklah, akan aku layani
permintaanmu.” Balas Hoshikuzu, membuatku cukup memandang wajahnya yang mulai
serius (bermain). “Bagaimana dengan
pelajarannya? Menurutku level SMA disini mungkin seperti level SMP disana kali,
ya?”
“Apa menurutmu aku ini suka bemain
macam seperti ini? Ini memalukan.” Balasku, menyudahi permainan sebelum
dimulai. “Apa itu tidak menarik? Permainan apa yang menurutmu menarik?” tanya
Hoshikuzu tidak mau menyerah. “Apa itu penting?” balasku dengan dinginnya. Untuk
sementara, mungkin itu membuatnya bungkam. “Apa boleh aku minta jadwal
pelajarannya?” tanya Hoshikuzu mulai membuka pembicaraan baru. Untunglah bukan
hal pribadi lagi. “Mintalah ke ruang TU.” Jawabku sedikit melunak. Senyum
kemenangan terukir pada wajah Hoshikuzu.
Setelah pelajaran, dilanjutkan
istirahat pertama. Aku kembali kepada Anita kusayang. Haaah… rasanya seperti
sudah seminggu tidak bersamanya. “Pusing dekat dengannya. Anita, aku ingin
bersebelahan denganmu lagi. Aku bahkan lebih berisik dari biasanya jika duduk
dengannya. Bukankah tujuan utama sebangku ada dua jenis kelamin itu agar tidak
ada yang ramai, tapi kenapa aku dengannya malah lebih ramai dari biasanya.
Apalagi dia yang selalu mengajakku ribut. Dan aku benar-benar kesal saat guru
menegurku. Itu baru yang pertama dalam kehidupan SMA ku ditegur oleh guru. Itu
sangat memalukan, Anita. Dan dia sangat cerewet. Haaah… rasanya sangat
menyebalkan. Aku ingin duduk denganmu lagi.” Keluhku pada Anita. Meski aku
mengeluh sepanjang sungai nil, dia akan tetap terus mendengarkanku. Itulah tipe
sahabat yang aku sukai. Apalagi setelah aku berkeluh kesah, dia pasti
menanggapinya.
“Kau berubah, Ya.” Kata Anita. “Eh?”
balasku tak mengerti. “Biasanya kau mengeluh kurang dari 20 detik, itu pun
sudah menyangkup semuanya. Dan sekarang, cuma karena masalah satu cowok, kau
mengeluh sangat banyak dan panjang. Aku sih tidak keberatan untuk mendengarnya.
Hanya cukup terkejut saja.” Jawab Anita membuatku sadar. Aku terlalu perhatian
pada murid baru itu. Itu bukanlah tipeku. Ini terlalu rumit. “Kau benar…” tanpa
tersadar aku mengikuti arah pembicaraan lelaki itu.
“Tapi Tan, Hoshikuzu itu lumayan
keren juga, bukan!? Bahkan dia kereeeeennnn abis!!!!” kata Anita dengan
semangat membaranya. “Aku lebih suka Rasulullah. Aku bahkan bisa membayangkan
setampan apa Rasulullah.” Balasku, dengan menatap jauh ke langit. “Aku pikir
kau tidak akan dapat bertemu dengan Beliau.” Kata Anita, memandangku tanpa
ekspresi. “Hehehe… iya juga sih. Aku terlalu bermimpi, ya!” balasku,
membenarkan perkataan Anita.
Seperti ada yang mengikuti. Apa
hanya perasaanku saja ya? Aku pun membalikkan tubuhku secara tiba-tiba. Tapi
tidak ada yang menatapku. Semuanya sedang sibuk dengan topiknya masing-masing.
“Ada apa?” tanya Anita, heran. “Tidak. Bukan apa-apa.” jawabku, melanjutkan
perjalanan ke kantin. Anita terlihat bingung menatap ke belakang, namun ia pun
mengikutiku dari belakang. Tanpa aku sadari memang ada yang mengikutiku.
Saat di kantin, kami pun memesan
makanan seperti biasanya. Aku nasgor gak pake moto dan Anita sop ayam tanpa
tomat. Dan minumannya aku jus jambu dan Anita lemon tea. Dan perasaan itu
muncul lagi! Seperti ada yang memata-mataiku. Entahlah, tapi ini sangat
mengganggu. “Dari tadi kelihatannya kau terlihat was-was, Tan.” Kata Anita,
yang menyadari sikapku. “Ah, tidak juga. An, jika haidnya sudah selesai, mandi
besarnya harus pakai bunga-bunga, ya?” balasku. “Hah? Denger dari siapa, tu?
Rumor itu.” Jawab Anita, menyendok satu suapan. Aku pun mengangguk-angguk mengerti.
“Jadi hanya membersihkan kulit dari debu, lalu berniat, lalu berwudhu, yang
terakhir mandi. Iya, kan?” tanyaku, memastikan. “Nyem… itu tahu. Mudah bukan?”
jawab Anita, setelah menelan satu suap.
“Ah, kebiasaan nih. Anita, aku ke
belakang dahulu, ya.” Kataku, pamit ke belakang. “Selalu begini.” Balas Anita
menatapku dengan kecewa. “Maaf… kebiasaan yang tidak bisa diubah sih. Nih uang
yang harus aku bayar. Thanks ya. Mmuuaaahhh… aku sayang kamu.” Kataku, mencubit
pipi Anita. Kemudian aku pun langsung pergi ke toilet.
Saat aku keluar dari toilet, aku
melihat Hoshikuzu menunggu seseorang di luar toilet. Cukup terkejut, namun aku
pun melangkahkan kakiku pergi melawatinya. “Apa kau sungguh melupakanku?”
mendengar pertanyaan itu, langkahku terhenti. “Subhkaa namanlaa yanaa muwalaa
yashuu. Maha suci Allah yang tidak pernah tidur dan tidak pernah lupa. Aku
bukan Tuhan yang bisa selalu mengingat hal-hal yang tidak penting.” Balasku,
tanpa menoleh. Aku pun langsung meninggalkannya. “Begitu…” lirih Hoshikuzu.
***
*** ***
Tidak ada komentar :
Posting Komentar