Sabtu, 06 April 2013

INGATAN YANG KEMBALI 5

Silahkan dinikmati untuk chapter selanjutnya.... aku senang jika ada yang membacanya, tapi sayangnya hanya aku sendiri, sang pengarang yang membacanya hingga saat ini, yeeeee.....

MENCARI KEBENARAN (Senin)


Kita mulai cerita hari ini di sekolah pada jam pelajaran pertama. Masih seperti hari sebelumnya, Hoshikuzu tetap sebangku denganku. Saat aku menanyakan kenapa ia selalu ingin di sampingku, ia selalu mengalihkan pemicaraannya. Dan aku selalu mengikuti alur yang ia bawa. Dia, murid baru dari Jepang yang misterius. Aku bahkan saking tidak tahu apa-apa tentangnya, aku pernah mengira dia fans beratku. Tapi itu mungkin saja, bukan? Tidak ada yang tidak mungkin, bukan?
“Untuk yang kemarin, terima kasih banyak.” Kataku, saat guru agama sedang menerangkan pelajaran. “Itu sudah kewajibanku.” Balas Hoshikuzu. “Hah?” tanyaku tak mengerti. Kewajiban? Aku bahkan tidak tahu hubunganku dengannya. Apa dia benar-benar waras? “Lupakan.” Jawab Hoshikuzu, cukup lama ia mengatakan itu.
Dia sungguh, sungguh, sangat amat aneh dan misterius. Aku benar-benar tak mengerti yang sedang ia pikirkan. Apa semua orang Jepang sepertinya? Tapi sudahlah, ini tidak ada hubungannya denganku.
Istirahat pun tiba. Aku kembali ke pelukan Anita. Dan seperti biasanya, kami ke kantin memesan makanan kebiasaan kami. “Ya ampun… seperti pahlawan ya. Apa kau benar-benar tak tahu siapa Hoshikuzu itu?” balas Anita, setelah aku menceritakan semua hal yang terjadi kemarin. Aku hanya menggelengkan kepalaku. “Dia sungguh penuh misteri, Tan! Terus setelah kejadian itu, kau diantar Hoshikuzu sampai rumah?” tanya Anita, tertarik dengan ceritaku.
“Ya, begitulah. Padahal aku sudah bilang tidak perlu diantar, ia terus memaksa ikut. Dia itu orang teraneh yang pernah kutemui.” Jawabku, setelah menghabiskan satu suapan. “Bagaiamana dengan tanggapan pamanmu?” tanya Anita terus penasaran.
“Sepertinya paman curiga. Ah… sudahlah! Setelah itu, paman menceramahiku ini dan itu tanpa bisa aku cegah. Katanya tidak boleh berkholwatlah, aku sudah dewasa harus menjaga diri dengan baik, pacaran belum saatnyalah… aaaarrrrggghhh… ini sungguh menjengkelkan! Gara-gara satu cowok, bisa mengubah segalanya. Bukankah itu menyebalkan, An?” jawabku dengan kesal dan meremas sendok hingga bengkok.
“Ya, ya, ya… itutuh, sendok milik orang itu… yah, aku sungguh sangat mengerti seorang paman yang niece complex. Tapi bukankah kau bisa menyangkalnya karena kau sedang berurusan dengan copet?”
“Iya sih… tapi kau tahu sendiri bukan, jika aku menyangkal, paman akan membalasnya dengan yang lebih berat. Pamanku kalau dalam berdebat nomer satu.” Jawabku dengan lemas. Anita pun mengangguk mengerti. “Terus, bagaimana dengan pencopetnya itu? Apa kau akan membantunya seperti yang sudah kau lakukan dahulu-dahhulu?” tanya Anita, menanyai pendapatku. “Iya, ya. Tapi yang dahulu itu kan orang tua, aku pasti membantunya dengan cara lembut. Tapi… kali ini, laki-laki itu… masih muda dan sehat.” Kataku, memikirkan hal yang sama seperti yang Anita pikirkan.
Di kelas saat pelajaran kosong. “Mmm… kemarin, saat kau mengikutiku, aku tidak merasakan orang yang mengikutiku. Bagaimana caranya biar bisa seperti itu?” tanyaku, di sela aku mengerjakan matematika. “Aku tidak berniat untuk mengikutimu.” Balas Hoshikuzu, tidak lepas dari bukunya. Aku hanya melembungkan pipiku. “Hmpf… jangan kau pasang wajah aneh seperti itu.” Kata Hoshikuzu, membuatku mengempiskan pipiku. Aku meliriknya sebentar. Aku heran deh, padahal tadi ia tidak menatapku, bagaimana dia tahu?
“Ajari aku untuk menghilangkan aura.” Kataku, setelah suara bel bertanda jam pelajaran habis. Hoshikuzu pun menatapku heran. “Apa menurutmu aku benar-benar memiliki kekuatan penghilang aura?”
“Kau benar-benar mirip dengan Usui.” Kataku, tanpa sadar, jika aku cukup terpesona padanya. Seketika itu pun aku menutup mulutku dan melanjutkan mengerjakan matematika lagi. “Usui?” tanya Hoshikuzu, penasaran. “Lupakan.” Balasku dengan cepat. Hoshikuzu mengangkat salah satu alisnya tak mengerti.
Waktu sekolah pun usai. Aku melewati pasar yang kemarin aku  datangi. “Semoga bisa bertemu  lagi dengannya.” Harapku. Benar saja, belum lama aku berada di pasar, sudah langsung menemukannya.  Saat aku akan menghampirinya, seseorang menghentikanku. Orang yang sudah akan tertebak untuk kalian, Hoshikuzu. “Arrghh.. Kau penguntit!?” tanyaku dengan kesal saat melihat lelaki pencopet itu telah pergi menaiki bis. “Auww!!!” jeritku saat Hoshikuzu menjitak kepalaku cukup keras. “Kau gila atau stress sih? Mau dikenal banyak orang jahat dengan seragam sekolah? Mau menjelekkan nama baik sekolah?”kata Hoshikuzu membuatku terkejut. Entah kenapa saat mendengar perkataannya, membuatku teringat oleh orang lain. Kepalaku cukup pusing untuk mengingat orang itu.
“Hei, kau tidak apa-apa? Apa pukulanku sesakit itu?” tanya Hoshikuzu dengan cemas. “Bukan… ah, tidak. Aku baik-baik saja.” Jawabku. Tetapi melihat mata Hoshikuzu, sepertinya ia tidak setuju. “Ah, sudahlah. Tadi maksud dari kalimatmu itu apa?” lanjutku, menghilangkan suasana cukup romantis tadi. “Dia mungkin akan lama kembalinya. Kurang lebih jam setengah tujuh malam nanti. Sekitar jam itu, kembalilah kemari. Aku akan membantumu.” Jawab Hoshikuzu membuatku heran. “Bagaimana kau tahu? Bukankah kau tidak mengenalnya?”
“Apa kau akan menunggunya kembali dengan mengenakan seragam? Apa kau akan menunggunya hingga larut malam tanpa kenal lelah? Kau bukan Muhammad yang kuat, kau adalah Siti Khodijah yang tidak melakukan hal keras seperti itu.” Balas Hoshikuzu membuatku tersentak. “Bagaimana…” kataku tanpa menyelesaikan kalimatku. “Kau selalu mengatakannya.” Jawabnya, menghentikan taksi dan mempersilahkanku masuk. Dia sungguh aneh, bahkan aku tidak pernah mengatakan apapun padanya dan… dia benar-benar aneh. Baru pertama ini aku menemukan sesosok orang yang mirip dengan tokoh komik.
Jam setengah tujuh, aku kembali ke pasar itu, meski ada kesulitan untuk sampai di sini. Saat ini, pasar terlihat sangat ramai karena hari ini jadwal pasar malam diadakan di sini. Aku menemui Hoshikuzu yang telah menunggu di sekitar komedi putar. “Terus, sekarang bagaimana?” tanyaku, bersandar pada tiang listrik yang menjulang tinggi disinari oleh terangnya lampu. Dia tidak menjawab apa-apa, hanya menunjuk ke arah jauh kedepan. Dan, itu… lelaki pencopet yang baru saja turun dari bis! Aku langsung menatap Hoshikuzu tak percaya. “Bagaimana kau tahu?” tanyaku terkejut. “Bukan bagaimana yang harus keluar dari mulutmu. Tapi apa rencanamu setelah ini?” balas Hoshikuzu. Aku pun terenyak dengan kata-katanya. “Dan, apa kau punya rencana?” tanya Hoshikuzu, dengan gayanya yang sok. Aku menelan seteguk ludahku dan menggelengkan kepala. Hoshikuzu pun menghela nafas panjang. “Ah, tapi rencanaku saat itu hanya akan berbicara padanya.” Kataku dengan cepat. Aku pikir rencanaku cukup baik, namun melihat Hoshikuzu yang menghela nafas kembali, sepertinya buruk. “Sudah kuduga. Kau memang tipe yang begitu, meski terlihat dingin di kulitnya saja, tapi dagingnya begitu cengeng.” Balas Hoshikuzu. Aku pun langsung melembungkan pipiku. “Hmpf… sudah kukatakan jangan lakukan hal aneh itu!” Kata Hoshikuzu yang menahan tawanya. Melihat dia seperti itu lagi, entah kenapa membuat pipiku merona. Tapi, aku langsung menyadarkan diriku bahwa ini adalah godaan setan yang terkutuk! Aku tidak boleh menuruti nafsu ini!
“Jadi, kau punya rencana?” tanyaku. “Bukankah Tuhanmu telah menciptakan lelaki lebih pintar dari perempuan?” balas Hoshikuzu dengan tangan menunjuk kepalanya. “Kau, orang Islam?” tanyaku tak percaya. “Aku seorang komunis.” Jawab Hoshikuzu dengan santainya, membuatku memalingkan wajahku kesal. “Aku heran orang komunis yang tidak mempercayai sebuah agama. Terus, apa tujuan hidup kalian?” tanyaku, dengan tatapan menyelidik. “Dahulu aku menganut agama yang dianut nenek moyang di Jepang, setelah dewasa aku berfikir, mana sebenarnya yang benar? Pada akhirnya aku memutuskan tidak terlibat pada agama mana pun hingga aku tertarik dengan agama yang kau anut. Tapi aku belum meyakini itu. Menjadi komunis, tidak sepenuhnya salah. Terkadang ada orang yang menjadi komunis karena mencari kebenaran.” Aku pun tercengang mendengar alasan mengapa ia menjadi komunis. Pemikiran orang memang beragam. Dan aku cukup setuju dengan pendapatnya. Setidaknya dia tertarik pada Islam, dan setelah itu baik jika ia menganutnya.
“Jadi, apa rencanamu?” tanyaku. “Kita cari kebenarannya. Apa benar keluarganya terkena penyakit. Dan kenapa harus mencopet?” jawab Hoshikuzu. “Jadi, kita stalker?” tanyaku tak percaya. “Apa tidak ada sebutan yang lebih baik dari stalker? Kita hanya mengikutinya saja, untuk mencari kebenaran.” Balas Hoshikuzu. “Penguntit, donk?” tanyaku lagi. Ia pun menatapku tajam. Aku hanya menyengirkan bibirku, tanpa merasa bersalah.
Akhirnya kami pun memata-matai lelaki itu. “Ternyata begini toh caramu mengikutiku.” Kataku cukup kagum dengan cara yang Hoshikuzu tunjukkan. Berjalan santai di belakangnya tanpa memandang orang yang sedang diikuti. Jangan berfikir apa pun tentang orang itu. Berbaurlah pada banyak orang. Jika jalan sepi, jaga jarak cukup jauh padanya. Jika orang itu menengok, jangan tergesa-gesa untuk bersembunyi.
Kemudian kami melihat lelaki itu memasuki sebuah rumah yang cukup ramai didatangi. Terdengar suara sangat riuh di dalam sana hingga diluar terdengar cukup jelas. “Itu tempat zina...” Lirihku, tak percaya. Hoshikuzu pun menatap penampilanku dari ujung kaki hingga ujung kepala. “A, apa!?” tanyaku tak mengerti. “Dengan pakaianmu saat ini, tidak mungkin kau akan masuk, kan?” balas Hoshikuzu. “Mmhh… benar.” Balasku, menundukkan kepala. “Haah… kau tunggu disini dan panggil polisi yang cukup jauh dari sini, aku akan menyuruh anak itu keluar dari tempat itu.” Kata Hoshikuzu, memberitahu idenya.
“Tapi jika terlambat, kau juga akan…” kataku tanpa sadar. Aku pun langsung menutup mulutku. Hoshikuzu pun tersenyum mendengar perkataanku. “Tenang saja, aku sudah menyiapkan segalanya.” Mendengar itu, aku terkejut membelalak tak percaya. Cukup lama aku menatapnya tanpa berkedip. “Hahaha… wajahmu sungguh aneh! Sudahlah, yang penting aku sudah menyuruhmu, ya.” Kata Hoshikuzu, mengusap kepalaku dengan lembut. Kemudian ia pun pergi memasuki tempat itu. Aku pun mengambil Hp-ku dan menulis sms untuk Hoshikuzu. Setelah terkirim, baru aku menelepon kantor polisi untuk segera datang.
Saat Hoshikuzu akan memasuki rumah maksiat itu, langkahnya terhenti oleh dering sms. Ia pun mengambil Hp-nya dari saku celana yang ia kenakan. Tertulis di layar Hp sms dariku. Ia buka sms itu. Ia membacanya sambil berjalan masuk ke rumah maksiat. “Aku berdo’a kepada Tuhanku, Allah. Semoga dikau dibukakan pintu hidayah oleh-Nya. Sesungguhnya hanya Allah, Tuhanku yang bisa membukakannya.” Membaca itu, Hoshikuzu tersenyum diikuti duduknya ia disebuah tempat yang penuh asap rokok. Hoshikuzu pun menatap mereka dengan tatapan was-was sekaligus tidak senang. Semua orang yang mengelilinginya terdiam, kemudian tertawa terbahak-bahak setelah saling memandang kesesama temannya. Tiba-tiba Hoshikuzu berdiri saat melihat lelaki pencopet melewatinya. Ia pun segera mengikuti lelaki itu, namun tangannya terhalang oleh lelaki bertubuh besar nan kekar. Hoshikuzu menatap semua orang yang mengelilinginya. “Aku tidak ada waktu untuk memainkan hal kekanakan seperti ini.” Kata Hoshikuzu, memancing amarah orang yang mendengarnya. Salah seorang dari mereka memukul meja dan menantang Hoshikuzu, “Kau berani mengatakan hal macam-macam tentang permainan suci ini!?”
“Aku tidak punya waktu untuk melayani kalian. Aku harus pergi.” kata Hoshikuzu dengan santainya, namun sesekali ia melirik lelaki pencopet itu yang sedang menunggu di depan pintu. “Kurang ajar! Aku menantangmu!” bentak yang lain ikut tak terima. Hoshikuzu menatap mata amarah orang-orang maksiat itu. Kemudian ia melirik kembali lelaki pencopet itu. Lelaki itu  masih tetap menunggu di depan pintu. “Aku tidak membawa uang. Aku tidak semestinya di sini. Permisi.” kata Hoshikuzu, mencoba untuk menghindari perzinaan. “Tadi kau berani berkata yang tidak-tidak dengan permainan suci ini, setidaknya kau jadilah bonekaku untuk permainan ini.” Kata seseorang yang lainnya. Penampilannya begitu berkesan dengan rambut putih menghias kepalanya dan jas mewah menyelimutinya.
‘Apa polisi itu masih lama?’ batin Hoshikuzu mulai kesal. “Aku tidak tertarik dengan permainan anak TK ini. Aku harus pergi.” kata Hoshikuzu, mulai memberontak. “Hanya sekali, apa susahnya!?” kesal orang pertama tadi. “Kau tidak takut, bukan?” tanya orang ketiga menatap mata Hoshikuzu. “Aku tidak akan tergoda dengan perkataanmu itu.” Balas Hoshikuzu menatap tajam orang ketiga yang sudah lanjut usia. Orang ketiga itu pun memepertajam penglihatannya mengadu pandang dengan Hoshikuzu. “Bagaimana jika tanpa uang?” tawar orang ketiga itu.
“APA!? Jika begitu membuang waktu!” bentak orang pertama bersamaan memukul meja tak setuju. “Apa yang membuatmu percaya jika dia pemain hebat, Kol?” selidik orang kedua. “Aura. Auranya menunjukkan aura seorang pemenang.” Jawab orang ketiga, menatap seluruh badan Hoshikuzu. “Apa pun yang berbau dengan permainan kekanakan ini, aku tidak akan mengikutinya.” Tegas Hoshikuzu, mencoba melepas pergelangan tangan lelaki besar itu. Ia pun mengadu pandang dengan lelaki besar itu. Namun kejadian itu tidak menjadi adu pandang yang panjang karena suara sirine mobil polisi yang cukup keras, membuat semua orang berlari ketakutan dan mencoba menyelamatkan diri sendiri, termasuk lelaki besar yang telah menggenggam lengan Hoshikuzu dengan keras. Hoshikuzu pun segera mencari lelaki pencopet yang sedang sibuk melarikan diri juga karena mendengar sirine polisi.
Ia melihat lelaki pencopet itu sedang bersembunyi di belakang tirai. Ia pun langsung membuka tirai itu dengan cepat, membuat lelaki itu terkejut. Tanpa mengucap apapun, Hoshikuzu langsung menarik tangan lelaki itu. “Wo, wo, woe… apa-apaan ini!? Kau bukan polisi!” kata lelaki pencopet itu mencoba memberontak.
Meski sudah mengatakan hal itu, lelaki itu tetap mengikuti Hoshikuzu hingga menemuiku di belakang rumah maksiat bersama dengan mobil picanto merah keluaran baru. “Ka, kau… aaiisshh! Ternyata kau yang memanggil polisi?” tanya lelaki itu, kesal. “Siapa namamu?” tanyaku, tanpa basa-basi. “Ka, kau…” balas lelaki itu, kesal. “Widodo Surya.” Sela Hoshikuzu, melirik lelaki pencopet itu dengan tajam. “Kenapa kau melakukan hal dosa untuk kesembuhan keluargamu?” tanyaku, menatap sedih lelaki itu. Mendengar itu, lelaki itu menatap tajam padaku.
“Apa kau pikir bisa bekerja dengan ijazah SMP? Bahkan mungkin tidak ada di dunia ini! Jika ada juga gaji tidak seberapa. Sebaiknya kau pikir dahulu jika akan bertanya!” marah lelaki bernama Surya itu. Aku menutup mulutku dengan air mata yang menggenang. Hoshikuzu menatapku, ikut bersedih.
Kemudian kami berada di rumah Surya. Melihat keluarganya yang tergeletak lemah di atas lantai yang hanya beralaskan tikar. Setetes air mataku mengalir di pipi, melihat keadaan keluarganya yang sungguh sangat amat kasihan. “Penyakit keturunan…” lirihku. “Bukan! Jika ini keturunan, bagaimana aku bisa sesehat ini?” sangkal Surya, tidak terima. “Maaf… ini baru pertama kalinya aku melihat ini secara langsung.” Kataku, menghapus air mata yang kembali mengalir.
“Aku sudah mencoba melamar pekerjaan apapun termasuk menjadi pembantu, namun tidak ada yang mau menerimaku karena umurku yang dibawah umur. Terkadang tetangga membantu, tapi hanya semampunya. Kalian lihat sendiri bukan, desa ini tidak makmur. Akhirnya, aku menyerah kepada lintah darat meminjam uang pada mereka 5 juta. Setan pun berbisik agar uang itu dimainkan. Dan aku menang. Ya, awalnya aku menang dan dapat mengembalikan uang itu keesokan harinya kepada llintah darat. Kemudian adikku yang terkecil aku bawa ke rumah sakit, sempat rawat inap, namun setelah uang habis, rumah sakit mengeluarkannya.” Jelas lelaki itu, dengan linangan air mata. Mendengar itu, tak kuasa aku menahan air mata ini. Sungguh kejam dunia yang ia tempuh. Namun dia sungguh beruntung jika dia setegar ini, tidak meninggalkan keluarganya, dan selalu berusaha keras untuk menyembuhkan mereka.
Tiba-tiba, darah keluar dari mulutku. Saat itu juga, Hoshikuzu dan Surya melihat darah itu. “Ka, kau tidak apa-apa?” tanya Hoshikuzu, terlihat cemas. Aku pun langsung mengeluarkan tisu dari saku jaket dan langsung mengelap darah yang keluar dari mulutku. “Tidak apa-apa. Jangan hiraukan aku. Terus, bagaimana mereka bisa seperti ini?”
“2 tahun yang lalu, keluargaku diajak oleh keluarga majikan ibuku pergi ke Jepang. Saat itu aku tidak ikut karena fokus untuk ujian nasional. Dan mereka semua pergi ke Jepang dengan perasaan bahagia. Namun beberapa hari setelah itu, di Jepang ada insiden kebocoran bahan radiasi dan keluargaku terkena radiasi itu. Dan majikan ibuku meninggal bersama keluarganya yang lain dalam kecelakaan beberapa jam setelah kebocoran radiasi. Dan keluaragaku pulang dengan keadaan menyedihkan. Ada uang untuk menebusnya, namun itu tidak mencukupi keluarga kami yang sungguh miskin.”
Aku menggelengkan kepalaku tak percaya. “Ini terlalu menyedihkan. Kau, orang yang hebat, Surya.” Kataku, meneteskan air mata. “Tidak, bahkan aku tidak bisa menerima ini. Setiap malam aku mengeluh pada Tuhanku, melaknat semua yang ada disekitar. Mempertanyakan kenapa nasib keluargaku semalang ini? ”
“Huuuwwweee…” tangisku, menjatuhkan diri ke lantai. “Sungguh Allah Maha Besar. Kau sungguh lelaki yang bertanggung jawab. Hatimu sungguh besar. Bahkan kau tidak punya niat untuk meninggalkan keluargamu yang lemah dan berusaha untuk memberi mereka makan. Bagaimana ini… ternyata masih ada orang yang seperti kau di dunia ini. Allah sungguh membuatku terkejut… ini sungguh mengejutkan…” rengekku, terus menyeka air mata yang tak henti-hentinya mengalir. Hoshikuzu dan Surya terlihat heran melihat tingkahku dan sekaligus bingung.
Di depan rumah, Paman membuka pintu garasi dengan wajah masamnya. Terlihat jelas jika Paman akan mengungkapkan semua perasaan yang ia rasakan. Mungkin pembicaraannya akan sampai Subuh, apalagi jika ada Hoshikuzu di sampingku.
Di dalam ruang tamu, terduduklah Paman, aku dan Hoshikuzu. “Jam berapa sekarang, Tania?” tanya Paman menahan amarahnya. Aku menelan ludahku. “11;45.” Jawabku. “Dan…” kata Paman, melirik Hoshikuzu. “Benar kau Hoshikuzu?” lanjut Paman. Hoshikuzu hanya mengangguk pelan. “Apa yang kau lakukan dengan keponakanku hingga larut malam begini!? Dan kenapa ponselmu tidak aktif Tania!?” bentak Paman, sudah mulai pemanasan.
“Ma, maaf, Paman. Hp-ku batrainya habis.” Jawabku. Paman pun menatapku tajam. Kemudian ia mendekatiku saat darah masih terlihat di dekat bibirku. “Apa yang telah kau lakukan, HAH!?” teriak Paman, mulai marah. “Pa, Paman, ini bukan salah Hoshikuzu. Paman jangan marah.” Selaku, mengetahui apa yang ada dipikiran Paman.
“Pa, Paman… Paman tidak apa-apa?” tanyaku, saat melihat Paman menunduk di pangkuanku. “Sekarang, kenapa kau bersedih? Sebenarnya semakin kau dewasa, semakin Paman bingung harus memperlakukanmu seperti apa. apa menurutmu, Paman ini pantas menjadi orang tua penggantimu?” tanya Paman, masih dalam keadaan menunduk. “Paman benar-benar…” kata Paman, yang kalimatnya terputus karena aku. “Ssst… Paman mulai mengeluh padaku. Bukankah Paman yang bilang jika kita harus berusaha supaya tidak mengeluh? Yang Paman lakukan cukup seperti yang dilakukan Paman sebelum-sebelumnya.” Mendengar itu, Paman pun mengangkat kepalanya menatapku. Tangannya pun memegang daguku.
“Julurkan lidahmu.” Perintah Paman. Kemudian tanpa menentang, aku julurkan lidahku. “Sudahku katakan jangan ditahan. Kenapa juga masih kau tahan, Tania?” tanya Paman memandangku kasihan. Melihat itu, Hoshikuzu cukup tercengang. “Tidak apa-apa, Paman.” Balasku, menyingkirkan tangan Paman. “Bagaimana dengan Hoshikuzu?” tanyaku, menatap Hoshikuzu yang sedang melihat kami dengan tatapan tanda tanya.
“Malam ini menginaplah di sini.” Kata Paman setelah ia tegapkan tubuhnya kembali. “Apa!? Paman bercanda?” tanyaku tak percaya. Paman pun memandangku untuk sesaat.
*** *** ***