MENCARI KEBENARAN (Senin)
Kita mulai cerita hari ini di
sekolah pada jam pelajaran pertama. Masih seperti hari sebelumnya, Hoshikuzu
tetap sebangku denganku. Saat aku menanyakan kenapa ia selalu ingin di
sampingku, ia selalu mengalihkan pemicaraannya. Dan aku selalu mengikuti alur
yang ia bawa. Dia, murid baru dari Jepang yang misterius. Aku bahkan saking
tidak tahu apa-apa tentangnya, aku pernah mengira dia fans beratku. Tapi itu
mungkin saja, bukan? Tidak ada yang tidak mungkin, bukan?
“Untuk yang kemarin, terima kasih
banyak.” Kataku, saat guru agama sedang menerangkan pelajaran. “Itu sudah
kewajibanku.” Balas Hoshikuzu. “Hah?” tanyaku tak mengerti. Kewajiban? Aku
bahkan tidak tahu hubunganku dengannya. Apa dia benar-benar waras? “Lupakan.”
Jawab Hoshikuzu, cukup lama ia mengatakan itu.
Dia sungguh, sungguh, sangat amat
aneh dan misterius. Aku benar-benar tak mengerti yang sedang ia pikirkan. Apa
semua orang Jepang sepertinya? Tapi sudahlah, ini tidak ada hubungannya
denganku.
Istirahat pun tiba. Aku kembali ke
pelukan Anita. Dan seperti biasanya, kami ke kantin memesan makanan kebiasaan
kami. “Ya ampun… seperti pahlawan ya. Apa kau benar-benar tak tahu siapa
Hoshikuzu itu?” balas Anita, setelah aku menceritakan semua hal yang terjadi
kemarin. Aku hanya menggelengkan kepalaku. “Dia sungguh penuh misteri, Tan!
Terus setelah kejadian itu, kau diantar Hoshikuzu sampai rumah?” tanya Anita,
tertarik dengan ceritaku.
“Ya, begitulah. Padahal aku sudah
bilang tidak perlu diantar, ia terus memaksa ikut. Dia itu orang teraneh yang
pernah kutemui.” Jawabku, setelah menghabiskan satu suapan. “Bagaiamana dengan
tanggapan pamanmu?” tanya Anita terus penasaran.
“Sepertinya paman curiga. Ah…
sudahlah! Setelah itu, paman menceramahiku ini dan itu tanpa bisa aku cegah.
Katanya tidak boleh berkholwatlah, aku sudah dewasa harus menjaga diri dengan
baik, pacaran belum saatnyalah… aaaarrrrggghhh… ini sungguh menjengkelkan!
Gara-gara satu cowok, bisa mengubah segalanya. Bukankah itu menyebalkan, An?”
jawabku dengan kesal dan meremas sendok hingga bengkok.
“Ya, ya, ya… itutuh, sendok milik
orang itu… yah, aku sungguh sangat mengerti seorang paman yang niece complex. Tapi bukankah kau bisa
menyangkalnya karena kau sedang berurusan dengan copet?”
“Iya sih… tapi kau tahu sendiri
bukan, jika aku menyangkal, paman akan membalasnya dengan yang lebih berat.
Pamanku kalau dalam berdebat nomer satu.” Jawabku dengan lemas. Anita pun
mengangguk mengerti. “Terus, bagaimana dengan pencopetnya itu? Apa kau akan
membantunya seperti yang sudah kau lakukan dahulu-dahhulu?” tanya Anita,
menanyai pendapatku. “Iya, ya. Tapi yang dahulu itu kan orang tua, aku pasti
membantunya dengan cara lembut. Tapi… kali ini, laki-laki itu… masih muda dan
sehat.” Kataku, memikirkan hal yang sama seperti yang Anita pikirkan.
Di kelas saat pelajaran kosong. “Mmm…
kemarin, saat kau mengikutiku, aku tidak merasakan orang yang mengikutiku.
Bagaimana caranya biar bisa seperti itu?” tanyaku, di sela aku mengerjakan
matematika. “Aku tidak berniat untuk mengikutimu.” Balas Hoshikuzu, tidak lepas
dari bukunya. Aku hanya melembungkan pipiku. “Hmpf… jangan kau pasang wajah
aneh seperti itu.” Kata Hoshikuzu, membuatku mengempiskan pipiku. Aku
meliriknya sebentar. Aku heran deh, padahal tadi ia tidak menatapku, bagaimana
dia tahu?
“Ajari aku untuk menghilangkan
aura.” Kataku, setelah suara bel bertanda jam pelajaran habis. Hoshikuzu pun
menatapku heran. “Apa menurutmu aku benar-benar memiliki kekuatan penghilang
aura?”
“Kau benar-benar mirip dengan
Usui.” Kataku, tanpa sadar, jika aku cukup terpesona padanya. Seketika itu pun
aku menutup mulutku dan melanjutkan mengerjakan matematika lagi. “Usui?” tanya
Hoshikuzu, penasaran. “Lupakan.” Balasku dengan cepat. Hoshikuzu mengangkat
salah satu alisnya tak mengerti.
Waktu sekolah pun usai. Aku
melewati pasar yang kemarin aku datangi.
“Semoga bisa bertemu lagi dengannya.”
Harapku. Benar saja, belum lama aku berada di pasar, sudah langsung
menemukannya. Saat aku akan menghampirinya,
seseorang menghentikanku. Orang yang sudah akan tertebak untuk kalian,
Hoshikuzu. “Arrghh.. Kau penguntit!?” tanyaku dengan kesal saat melihat lelaki
pencopet itu telah pergi menaiki bis. “Auww!!!” jeritku saat Hoshikuzu menjitak
kepalaku cukup keras. “Kau gila atau stress sih? Mau dikenal banyak orang jahat
dengan seragam sekolah? Mau menjelekkan nama baik sekolah?”kata Hoshikuzu
membuatku terkejut. Entah kenapa saat mendengar perkataannya, membuatku
teringat oleh orang lain. Kepalaku cukup pusing untuk mengingat orang itu.
“Hei, kau tidak apa-apa? Apa
pukulanku sesakit itu?” tanya Hoshikuzu dengan cemas. “Bukan… ah, tidak. Aku
baik-baik saja.” Jawabku. Tetapi melihat mata Hoshikuzu, sepertinya ia tidak
setuju. “Ah, sudahlah. Tadi maksud dari kalimatmu itu apa?” lanjutku,
menghilangkan suasana cukup romantis tadi. “Dia mungkin akan lama kembalinya.
Kurang lebih jam setengah tujuh malam nanti. Sekitar jam itu, kembalilah
kemari. Aku akan membantumu.” Jawab Hoshikuzu membuatku heran. “Bagaimana kau
tahu? Bukankah kau tidak mengenalnya?”
“Apa kau akan menunggunya kembali dengan
mengenakan seragam? Apa kau akan menunggunya hingga larut malam tanpa kenal
lelah? Kau bukan Muhammad yang kuat, kau adalah Siti Khodijah yang tidak
melakukan hal keras seperti itu.” Balas Hoshikuzu membuatku tersentak.
“Bagaimana…” kataku tanpa menyelesaikan kalimatku. “Kau selalu mengatakannya.”
Jawabnya, menghentikan taksi dan mempersilahkanku masuk. Dia sungguh aneh,
bahkan aku tidak pernah mengatakan apapun padanya dan… dia benar-benar aneh.
Baru pertama ini aku menemukan sesosok orang yang mirip dengan tokoh komik.
Jam setengah tujuh, aku kembali ke
pasar itu, meski ada kesulitan untuk sampai di sini. Saat ini, pasar terlihat
sangat ramai karena hari ini jadwal pasar malam diadakan di sini. Aku menemui
Hoshikuzu yang telah menunggu di sekitar komedi putar. “Terus, sekarang
bagaimana?” tanyaku, bersandar pada tiang listrik yang menjulang tinggi
disinari oleh terangnya lampu. Dia tidak menjawab apa-apa, hanya menunjuk ke
arah jauh kedepan. Dan, itu… lelaki pencopet yang baru saja turun dari bis! Aku
langsung menatap Hoshikuzu tak percaya. “Bagaimana kau tahu?” tanyaku terkejut.
“Bukan bagaimana yang harus keluar dari mulutmu. Tapi apa rencanamu setelah
ini?” balas Hoshikuzu. Aku pun terenyak dengan kata-katanya. “Dan, apa kau
punya rencana?” tanya Hoshikuzu, dengan gayanya yang sok. Aku menelan seteguk
ludahku dan menggelengkan kepala. Hoshikuzu pun menghela nafas panjang. “Ah, tapi
rencanaku saat itu hanya akan berbicara padanya.” Kataku dengan cepat. Aku
pikir rencanaku cukup baik, namun melihat Hoshikuzu yang menghela nafas
kembali, sepertinya buruk. “Sudah kuduga. Kau memang tipe yang begitu, meski
terlihat dingin di kulitnya saja, tapi dagingnya begitu cengeng.” Balas
Hoshikuzu. Aku pun langsung melembungkan pipiku. “Hmpf… sudah kukatakan jangan
lakukan hal aneh itu!” Kata Hoshikuzu yang menahan tawanya. Melihat dia seperti
itu lagi, entah kenapa membuat pipiku merona. Tapi, aku langsung menyadarkan
diriku bahwa ini adalah godaan setan yang terkutuk! Aku tidak boleh menuruti
nafsu ini!
“Jadi, kau punya rencana?” tanyaku.
“Bukankah Tuhanmu telah menciptakan lelaki lebih pintar dari perempuan?” balas
Hoshikuzu dengan tangan menunjuk kepalanya. “Kau, orang Islam?” tanyaku tak
percaya. “Aku seorang komunis.” Jawab Hoshikuzu dengan santainya, membuatku
memalingkan wajahku kesal. “Aku heran orang komunis yang tidak mempercayai
sebuah agama. Terus, apa tujuan hidup kalian?” tanyaku, dengan tatapan menyelidik.
“Dahulu aku menganut agama yang dianut nenek moyang di Jepang, setelah dewasa
aku berfikir, mana sebenarnya yang benar? Pada akhirnya aku memutuskan tidak
terlibat pada agama mana pun hingga aku tertarik dengan agama yang kau anut.
Tapi aku belum meyakini itu. Menjadi komunis, tidak sepenuhnya salah. Terkadang
ada orang yang menjadi komunis karena mencari kebenaran.” Aku pun tercengang
mendengar alasan mengapa ia menjadi komunis. Pemikiran orang memang beragam.
Dan aku cukup setuju dengan pendapatnya. Setidaknya dia tertarik pada Islam,
dan setelah itu baik jika ia menganutnya.
“Jadi, apa rencanamu?” tanyaku.
“Kita cari kebenarannya. Apa benar keluarganya terkena penyakit. Dan kenapa
harus mencopet?” jawab Hoshikuzu. “Jadi, kita stalker?” tanyaku tak percaya.
“Apa tidak ada sebutan yang lebih baik dari stalker? Kita hanya mengikutinya
saja, untuk mencari kebenaran.” Balas Hoshikuzu. “Penguntit, donk?” tanyaku
lagi. Ia pun menatapku tajam. Aku hanya menyengirkan bibirku, tanpa merasa
bersalah.
Akhirnya kami pun memata-matai
lelaki itu. “Ternyata begini toh caramu mengikutiku.” Kataku cukup kagum dengan
cara yang Hoshikuzu tunjukkan. Berjalan santai di belakangnya tanpa memandang
orang yang sedang diikuti. Jangan berfikir apa pun tentang orang itu. Berbaurlah
pada banyak orang. Jika jalan sepi, jaga jarak cukup jauh padanya. Jika orang
itu menengok, jangan tergesa-gesa untuk bersembunyi.
Kemudian kami melihat lelaki itu
memasuki sebuah rumah yang cukup ramai didatangi. Terdengar suara sangat riuh
di dalam sana hingga diluar terdengar cukup jelas. “Itu tempat zina...”
Lirihku, tak percaya. Hoshikuzu pun menatap penampilanku dari ujung kaki hingga
ujung kepala. “A, apa!?” tanyaku tak mengerti. “Dengan pakaianmu saat ini,
tidak mungkin kau akan masuk, kan?” balas Hoshikuzu. “Mmhh… benar.” Balasku,
menundukkan kepala. “Haah… kau tunggu disini dan panggil polisi yang cukup jauh
dari sini, aku akan menyuruh anak itu keluar dari tempat itu.” Kata Hoshikuzu,
memberitahu idenya.
“Tapi jika terlambat, kau juga akan…”
kataku tanpa sadar. Aku pun langsung menutup mulutku. Hoshikuzu pun tersenyum
mendengar perkataanku. “Tenang saja, aku sudah menyiapkan segalanya.” Mendengar
itu, aku terkejut membelalak tak percaya. Cukup lama aku menatapnya tanpa
berkedip. “Hahaha… wajahmu sungguh aneh! Sudahlah, yang penting aku sudah
menyuruhmu, ya.” Kata Hoshikuzu, mengusap kepalaku dengan lembut. Kemudian ia
pun pergi memasuki tempat itu. Aku pun mengambil Hp-ku dan menulis sms untuk
Hoshikuzu. Setelah terkirim, baru aku menelepon kantor polisi untuk segera
datang.
Saat Hoshikuzu akan memasuki rumah
maksiat itu, langkahnya terhenti oleh dering sms. Ia pun mengambil Hp-nya dari
saku celana yang ia kenakan. Tertulis di layar Hp sms dariku. Ia buka sms itu.
Ia membacanya sambil berjalan masuk ke rumah maksiat. “Aku berdo’a kepada
Tuhanku, Allah. Semoga dikau dibukakan pintu hidayah oleh-Nya. Sesungguhnya
hanya Allah, Tuhanku yang bisa membukakannya.” Membaca itu, Hoshikuzu tersenyum
diikuti duduknya ia disebuah tempat yang penuh asap rokok. Hoshikuzu pun
menatap mereka dengan tatapan was-was sekaligus tidak senang. Semua orang yang
mengelilinginya terdiam, kemudian tertawa terbahak-bahak setelah saling
memandang kesesama temannya. Tiba-tiba Hoshikuzu berdiri saat melihat lelaki
pencopet melewatinya. Ia pun segera mengikuti lelaki itu, namun tangannya
terhalang oleh lelaki bertubuh besar nan kekar. Hoshikuzu menatap semua orang
yang mengelilinginya. “Aku tidak ada waktu untuk memainkan hal kekanakan
seperti ini.” Kata Hoshikuzu, memancing amarah orang yang mendengarnya. Salah
seorang dari mereka memukul meja dan menantang Hoshikuzu, “Kau berani
mengatakan hal macam-macam tentang permainan suci ini!?”
“Aku tidak punya waktu untuk melayani
kalian. Aku harus pergi.” kata Hoshikuzu dengan santainya, namun sesekali ia
melirik lelaki pencopet itu yang sedang menunggu di depan pintu. “Kurang ajar!
Aku menantangmu!” bentak yang lain ikut tak terima. Hoshikuzu menatap mata
amarah orang-orang maksiat itu. Kemudian ia melirik kembali lelaki pencopet
itu. Lelaki itu masih tetap menunggu di
depan pintu. “Aku tidak membawa uang. Aku tidak semestinya di sini. Permisi.”
kata Hoshikuzu, mencoba untuk menghindari perzinaan. “Tadi kau berani berkata
yang tidak-tidak dengan permainan suci ini, setidaknya kau jadilah bonekaku
untuk permainan ini.” Kata seseorang yang lainnya. Penampilannya begitu
berkesan dengan rambut putih menghias kepalanya dan jas mewah menyelimutinya.
‘Apa polisi itu masih lama?’ batin
Hoshikuzu mulai kesal. “Aku tidak tertarik dengan permainan anak TK ini. Aku
harus pergi.” kata Hoshikuzu, mulai memberontak. “Hanya sekali, apa susahnya!?”
kesal orang pertama tadi. “Kau tidak takut, bukan?” tanya orang ketiga menatap
mata Hoshikuzu. “Aku tidak akan tergoda dengan perkataanmu itu.” Balas
Hoshikuzu menatap tajam orang ketiga yang sudah lanjut usia. Orang ketiga itu
pun memepertajam penglihatannya mengadu pandang dengan Hoshikuzu. “Bagaimana
jika tanpa uang?” tawar orang ketiga itu.
“APA!? Jika begitu membuang waktu!”
bentak orang pertama bersamaan memukul meja tak setuju. “Apa yang membuatmu
percaya jika dia pemain hebat, Kol?” selidik orang kedua. “Aura. Auranya
menunjukkan aura seorang pemenang.” Jawab orang ketiga, menatap seluruh badan
Hoshikuzu. “Apa pun yang berbau dengan permainan kekanakan ini, aku tidak akan
mengikutinya.” Tegas Hoshikuzu, mencoba melepas pergelangan tangan lelaki besar
itu. Ia pun mengadu pandang dengan lelaki besar itu. Namun kejadian itu tidak
menjadi adu pandang yang panjang karena suara sirine mobil polisi yang cukup
keras, membuat semua orang berlari ketakutan dan mencoba menyelamatkan diri
sendiri, termasuk lelaki besar yang telah menggenggam lengan Hoshikuzu dengan
keras. Hoshikuzu pun segera mencari lelaki pencopet yang sedang sibuk melarikan
diri juga karena mendengar sirine polisi.
Ia melihat lelaki pencopet itu
sedang bersembunyi di belakang tirai. Ia pun langsung membuka tirai itu dengan
cepat, membuat lelaki itu terkejut. Tanpa mengucap apapun, Hoshikuzu langsung
menarik tangan lelaki itu. “Wo, wo, woe… apa-apaan ini!? Kau bukan polisi!”
kata lelaki pencopet itu mencoba memberontak.
Meski sudah mengatakan hal itu,
lelaki itu tetap mengikuti Hoshikuzu hingga menemuiku di belakang rumah maksiat
bersama dengan mobil picanto merah keluaran baru. “Ka, kau… aaiisshh! Ternyata
kau yang memanggil polisi?” tanya lelaki itu, kesal. “Siapa namamu?” tanyaku,
tanpa basa-basi. “Ka, kau…” balas lelaki itu, kesal. “Widodo Surya.” Sela
Hoshikuzu, melirik lelaki pencopet itu dengan tajam. “Kenapa kau melakukan hal
dosa untuk kesembuhan keluargamu?” tanyaku, menatap sedih lelaki itu. Mendengar
itu, lelaki itu menatap tajam padaku.
“Apa kau pikir bisa bekerja dengan
ijazah SMP? Bahkan mungkin tidak ada di dunia ini! Jika ada juga gaji tidak
seberapa. Sebaiknya kau pikir dahulu jika akan bertanya!” marah lelaki bernama
Surya itu. Aku menutup mulutku dengan air mata yang menggenang. Hoshikuzu
menatapku, ikut bersedih.
Kemudian kami berada di rumah
Surya. Melihat keluarganya yang tergeletak lemah di atas lantai yang hanya
beralaskan tikar. Setetes air mataku mengalir di pipi, melihat keadaan
keluarganya yang sungguh sangat amat kasihan. “Penyakit keturunan…” lirihku.
“Bukan! Jika ini keturunan, bagaimana aku bisa sesehat ini?” sangkal Surya,
tidak terima. “Maaf… ini baru pertama kalinya aku melihat ini secara langsung.”
Kataku, menghapus air mata yang kembali mengalir.
“Aku sudah mencoba melamar
pekerjaan apapun termasuk menjadi pembantu, namun tidak ada yang mau menerimaku
karena umurku yang dibawah umur. Terkadang tetangga membantu, tapi hanya
semampunya. Kalian lihat sendiri bukan, desa ini tidak makmur. Akhirnya, aku
menyerah kepada lintah darat meminjam uang pada mereka 5 juta. Setan pun
berbisik agar uang itu dimainkan. Dan aku menang. Ya, awalnya aku menang dan
dapat mengembalikan uang itu keesokan harinya kepada llintah darat. Kemudian
adikku yang terkecil aku bawa ke rumah sakit, sempat rawat inap, namun setelah
uang habis, rumah sakit mengeluarkannya.” Jelas lelaki itu, dengan linangan air
mata. Mendengar itu, tak kuasa aku menahan air mata ini. Sungguh kejam dunia
yang ia tempuh. Namun dia sungguh beruntung jika dia setegar ini, tidak
meninggalkan keluarganya, dan selalu berusaha keras untuk menyembuhkan mereka.
Tiba-tiba, darah keluar dari
mulutku. Saat itu juga, Hoshikuzu dan Surya melihat darah itu. “Ka, kau tidak
apa-apa?” tanya Hoshikuzu, terlihat cemas. Aku pun langsung mengeluarkan tisu
dari saku jaket dan langsung mengelap darah yang keluar dari mulutku. “Tidak
apa-apa. Jangan hiraukan aku. Terus, bagaimana mereka bisa seperti ini?”
“2 tahun yang lalu, keluargaku
diajak oleh keluarga majikan ibuku pergi ke Jepang. Saat itu aku tidak ikut
karena fokus untuk ujian nasional. Dan mereka semua pergi ke Jepang dengan
perasaan bahagia. Namun beberapa hari setelah itu, di Jepang ada insiden
kebocoran bahan radiasi dan keluargaku terkena radiasi itu. Dan majikan ibuku
meninggal bersama keluarganya yang lain dalam kecelakaan beberapa jam setelah
kebocoran radiasi. Dan keluaragaku pulang dengan keadaan menyedihkan. Ada uang
untuk menebusnya, namun itu tidak mencukupi keluarga kami yang sungguh miskin.”
Aku menggelengkan kepalaku tak
percaya. “Ini terlalu menyedihkan. Kau, orang yang hebat, Surya.” Kataku,
meneteskan air mata. “Tidak, bahkan aku tidak bisa menerima ini. Setiap malam
aku mengeluh pada Tuhanku, melaknat semua yang ada disekitar. Mempertanyakan
kenapa nasib keluargaku semalang ini? ”
“Huuuwwweee…” tangisku, menjatuhkan
diri ke lantai. “Sungguh Allah Maha Besar. Kau sungguh lelaki yang bertanggung
jawab. Hatimu sungguh besar. Bahkan kau tidak punya niat untuk meninggalkan
keluargamu yang lemah dan berusaha untuk memberi mereka makan. Bagaimana ini…
ternyata masih ada orang yang seperti kau di dunia ini. Allah sungguh membuatku
terkejut… ini sungguh mengejutkan…” rengekku, terus menyeka air mata yang tak
henti-hentinya mengalir. Hoshikuzu dan Surya terlihat heran melihat tingkahku
dan sekaligus bingung.
Di depan rumah, Paman membuka pintu
garasi dengan wajah masamnya. Terlihat jelas jika Paman akan mengungkapkan
semua perasaan yang ia rasakan. Mungkin pembicaraannya akan sampai Subuh,
apalagi jika ada Hoshikuzu di sampingku.
Di dalam ruang tamu, terduduklah
Paman, aku dan Hoshikuzu. “Jam berapa sekarang, Tania?” tanya Paman menahan
amarahnya. Aku menelan ludahku. “11;45.” Jawabku. “Dan…” kata Paman, melirik
Hoshikuzu. “Benar kau Hoshikuzu?” lanjut Paman. Hoshikuzu hanya mengangguk
pelan. “Apa yang kau lakukan dengan keponakanku hingga larut malam begini!? Dan
kenapa ponselmu tidak aktif Tania!?” bentak Paman, sudah mulai pemanasan.
“Ma, maaf, Paman. Hp-ku batrainya
habis.” Jawabku. Paman pun menatapku tajam. Kemudian ia mendekatiku saat darah
masih terlihat di dekat bibirku. “Apa yang telah kau lakukan, HAH!?” teriak
Paman, mulai marah. “Pa, Paman, ini bukan salah Hoshikuzu. Paman jangan marah.”
Selaku, mengetahui apa yang ada dipikiran Paman.
“Pa, Paman… Paman tidak apa-apa?”
tanyaku, saat melihat Paman menunduk di pangkuanku. “Sekarang, kenapa kau
bersedih? Sebenarnya semakin kau dewasa, semakin Paman bingung harus
memperlakukanmu seperti apa. apa menurutmu, Paman ini pantas menjadi orang tua
penggantimu?” tanya Paman, masih dalam keadaan menunduk. “Paman benar-benar…”
kata Paman, yang kalimatnya terputus karena aku. “Ssst… Paman mulai mengeluh
padaku. Bukankah Paman yang bilang jika kita harus berusaha supaya tidak
mengeluh? Yang Paman lakukan cukup seperti yang dilakukan Paman
sebelum-sebelumnya.” Mendengar itu, Paman pun mengangkat kepalanya menatapku.
Tangannya pun memegang daguku.
“Julurkan lidahmu.” Perintah Paman.
Kemudian tanpa menentang, aku julurkan lidahku. “Sudahku katakan jangan
ditahan. Kenapa juga masih kau tahan, Tania?” tanya Paman memandangku kasihan.
Melihat itu, Hoshikuzu cukup tercengang. “Tidak apa-apa, Paman.” Balasku,
menyingkirkan tangan Paman. “Bagaimana dengan Hoshikuzu?” tanyaku, menatap
Hoshikuzu yang sedang melihat kami dengan tatapan tanda tanya.
“Malam ini menginaplah di sini.”
Kata Paman setelah ia tegapkan tubuhnya kembali. “Apa!? Paman bercanda?”
tanyaku tak percaya. Paman pun memandangku untuk sesaat.
***
*** ***