Jumat, 10 Mei 2013

INGATAN YANG KEMBALI 7

Yah, yang chapter 6 memang buruk sekali ceritanya, namun yang kali ini akan sangat menarik (pendapatku, sih)... 

FAKTA YANG TIDAK DIKETAHUI (Rabu)

            Aku ikuti koridor sekolah yang panjang dan gelap ini, namun begitu ramai akan murid-murid. Salah satunya Hoshikuzu yang sedang berjalan santai menuju kelas. Aku berlari mendekatinya. Hoshikuzu menatapku sebentar, lalu ia palingkan wajahnya. “Mmm… ouhayouk…” kataku, berbasa-basi. “Ouhayouk…” balasnya dengan santai. “Kemarin, maaf…” kataku, menghentikan langkahku yang diikuti Hoshikuzu, tepat di depan kelas. “Ahh, jika maksudmu mendiamkanku, itu tidak masalah. Tapi masalahnya kenapa?” balas Hoshikuzu. Aku pun bingung untuk mencari alasan. “Mmm… Aku akan membalasnya di ujian nasional besok!” balasku pada akhirnya, pergi menghampiri Anita yang sedang belajar di tempatnya. Hoshikuzu pun menatapku heran.
“Jadi, bagaimana?” tanya Anita, menghentikan aktifitasnya. “Bagaimana…?” balik tanya aku, tak mengerti. “Pemuda yang kau bilang pencopet itu.” Jelas Anita. “Oooh… Surya tho… yah, aku tidak melaporkannya ke polisi, tapi ke komnas HAM dan perlindungan anak. Dan juga ditangani oleh Mentri Pendidikan. Cukup rumit sih dengan kasus yang seperti ini. Dan juga sampai penyiaran televisi pun ikut berdatangan.” Balasku menceritakan.
“Apa Hoshikuzu tetap mengikutimu?” tanya Anita penasaran. “Aish… kenapa menanyakan hal itu? Aku tidak tahu jelas, sih. Tapi dia itu bagaikan ninja yang hawa kedatangannya tidak terasa.” Jawabku, melirik Hoshikuzu yang jauh di depan. “Hei, sepertinya dia menyukaimu.” Tebak Anita, ikut meliriknya. “Jika aku dekat dengannya aku juga merasa dia seperti Usui.” Balasku. “Usui?” tanya Anita tak mengerti. “Ck, iya Usui… mmm… my sweet kaicho.” Jelasku, mencoba membuat Anita ingat. “Ah… iya! Usui Takumi, ya! Eh, jadi kangen sama Usui. Iya, mirip… mirip!” balas Anita teringat.
Bel pun berdering sehingga aku harus kembali ke asal mulaku, dimana Hoshikuzu duduk di sampingku. “Sepertinya kau belum puas berbicara dengannya.” Kata Hoshikuzu, menghentikan aktivitas membacanya. Aku melirik Anita yang melanjutkan mengerjakan fisika. “Yah, begitulah... kenapa? Kau mau tukar tempat?” balasku dengan judes. “Ya.” Jawab Hoshikuzu dengan tegas. Aku pun membelalakan mata tak percaya. “Panggil Anita kemari.” Suruh Hoshikuzu. Tanpa curiga sedikit pun aku pun menurutinya. Anita pun aku panggil bersama dengan tasnya sekaligus.
Entah kenapa, tasku sudah ada di atas meja belakang yang diduduki oleh Raisha dan Sishil. Dan Hoshikuzu menaruh tas Anita di tempat dudukku. Aku hanya bisa memandangnya bingung. Anita pun demikian. “Hei, cepat kembali ke tempatmu. Guru sudah datang.” Kata Hoshikuzu dengan tatapan mengusir. “Ta, tapi…” kataku namun disela oleh guru.
“Tania… kenapa masih berdiri?” tanya guru matematika. “Astaghfirullah… aish… baik, Bu.” Kataku dengan berat hati. Aku pun menuju bangku mantan Anita. Dan melihat Hoshikuzu bersebelahan dengan Anita, terlihat asyik mengobrol meski awalnya sedikit kikuk.
“Kau Anita Putri?” tanya Hoshikuzu, memulai pembicaraan. “Hahaha… plis deh, itu pertanyaan paling konyol yang dilontarkan oleh teman sekelas sendiri!” balas Anita, memukul jidatnya. “Pulang sekolah, aku ingin bicara denganmu.” Kata Hoshikuzu, membuat jantung Anita  berdetak lebih cepat. “Datanglah sendiri.” Kata Hoshikuzu, melanjutkan. Perkataannya membuat pipi Anita memerah.
Aish… kenapa tuh anak pipinya memerah setelah Hoshikuzu mengatakan sesuatu? Jadi pengen ketawa ngeliatnya. Aduh, itu membuatku tertawa. Apa dia menyukainya? Hmpf… tapi ekspresinya itu gak bisa biasa ya?
Sepulang sekolah, aku melihat Anita segera pergi meninggalkan kelas. Aku pun memandangnya heran. Dengan segera aku lari mendekatinya. “Tergesa-gesa sekali. Mau kencan, ya?” godaku. “Aih… kenapa kau bisa disini?” spontan Anita, mungkin tanpa ia sadari. “Hah? Kau aneh. Ada apa, sih?” tanyaku heran. “Tidak… aku hanya tergesa-gesa karena mau… BAB.” Kata Anita, pergi lebih cepat. Aku pun menghentikan langkahku melihatnya sangat tergesa-gesa.
*** *** ***
Kita sekarang akan mengintip pembicaraan Hoshikuzu dengan Anita sahabatku. Tapi ceritanya aku tidak ada ya. Ah, sayang banget aku melewatkan pembicaraan penting ini.
Anita terduduk kikuk di hadapan Hoshikuzu, dengan wajah merahnya yang membuatku ingin tertawa terpingkal-pingkal. Ah, aku lupa jika aku tidak ada di sini. Waiter datang di tengah kekikukan Anita dan kesantaian Hoshikuzu meminta pesanan. “Es teh dan es jeruk masing-masing satu. Kau?” tanya Hoshikuzu kepada Anita yang terlihat bingung dengan pesanan Hoshikuzu yang sangat sederhana itu. “Ah, coffe latte saja.” Jawab Anita sesegera mungkin. Waiter pun mencatat dan mengulang pesanan mereka. “Mbak, sama satu gelas kosong, ya.” Pinta Hoshikuzu, membuat Anita heran lagi. “Baik, Tuan.”
“Apa kau benar-benar sahabat kecilnya?” tanya Hoshikuzu ketika waiter meninggalkan mereka. “Apa kau sungguh tak mempercayaiku!?” balas Anita dengan sedikit emosi. “Apa kau ingat siapa saja teman masa kecilmu?” tanya Hoshikuzu, menatap serius Anita. “Apa maksud dari perkataanmu?” balas Anita, mulai menyadari jalan pembicaraan ini.
Waiter pun datang membawakan pesanan mereka. “Satu es teh, satu es jeruk, satu coffe latte, dan satu gelas kosong. Jika ada yang ingin dipesan lagi, mohon panggil kami.” Kata waiter, kemudian pergi. “Kau ingat, es teh dan es jeruk ini?” tanya Hoshikuzu, mengangkat kedua gelas itu kehadapan Anita. Anita pun teringat akan hal itu. “Tidak… jangan kau ingatkan masa itu pada kami. Sebenarnya siapa kau? Kenapa menyuruhku untuk mengingat hal itu?” balas Anita menatap Hoshikuzu tak percaya.
Terlihat empat orang anak sedang bermain di sebuah halaman yang cukup luas. Salah satunya bersembunyi dibalik tembok. Dan seorang gadis menyadari keberadaan anak yang bersembunyi itu. “Kuzu, kenapa kau menyendiri?” tanya gadis itu, jongkok mengimbangi anak laki-laki itu. “Aku sedang mengadakan eksperimen. Kau mau mencoba?” jawab anak lelaki itu, menawarkan. “Apa ini?” tanya gadis itu, memperhatikan kedua gelas yang berisi air berwarna coklat dan kuning. “Ini jeruk dan teh. Aku dengar dari Bunda, jika mereka dicampur, akan menghasilkan rasa yang menakjubkan. Mau?” jawab anak lelaki itu, mencampur jeruk dan teh itu di gelas lain. “Mmm… aku jadi yang pertama merasakan percobaanmu?” tanya gadis itu, dengan merona. “Ya. Tapi aku gak jamin kata Bundaku itu benar.” Balas anak laki itu menyerahkan segelas air yang sudah dicampur. Gadis itu pun meminumnya. “Ahh… ini benar-benar enak! Apa Bundamu memberitahu nama dari minuman ini?” kata gadis kecil, dengan semangatnya. “Apa sungguh itu enak? Aku tidak suka yang kecut. Itu lemontea.” Balas anak laki-laki itu dengan tampang cukup terkejut.
Air mata Anita jatuh mengalir ke pipinya. “Apa… ini… hiks… tidak… bagaimana… tidak… Kuzu?” kata Anita, menatap Hoshikuzu.  “Minumlah.” Suruh Hoshikuzu, memberikan satu gelas air yang telah bercampur. Anita pun meminum pemberian Hoshikuzu. Air mata Anita semakin deras mengingat rasa lemontea tidak jauh berbeda dari yang dahulu. “Kenapa kau kembali?” tanya Anita setelah air matanya mulai surut. “Kau ingat kakakku?” balik tanya Hoshikuzu. “Jangan, jangan sebut namanya. Itu nama terlarang bagi kami,terutama untuk Tania.” Balas Anita, membuat Hoshikuzu terkejut.
“Apa sebegitu menyakitkannya hingga kalian ingin melupakan kami?” tanya Hoshikuzu.
*** *** *** 

INGATAN YANG KEMBALI 6

Yah, mungkin ini cerita yang membosankan, ya... tapi, sebosan-bosannya ceritaku,, aku tetap senang untuk teus melanjutkannya... mianhe

HASIL USEK (Selasa)

            Matahari menyinari bumi bersama udara pagi yang menyejukkan. Aku turun dari mobil bersamaan dengan Hoshikuzu. Semua mata pun tertuju pada kami terheran-heran bagaimana hal ini bisa terjadi? Sejujurnya aku tidak suka menjadi pusat perhatian seperti ini. Tidak sedikit pula yang sedang membicarakan kami. Saat itu juga aku melihat Anita memasuki tempat parkir sepeda. Aduh, masalah tidak pernah kelar jika ada orang ini di dekatku.
“Makasih ya, Paman. Aku masuk duluan. Assalamu’alaikum.” Kataku, mencium tangan Paman. “Wa’alaikumussalam. Hati-hati, jangan tergesa-gesa.” Balas Paman saat melihatku langsung melarikan diri. Saat itu pula aku melihat wajah Anita yang terpana padaku. Aku pun langsung menghindarinya. “Wo, woe! Tania! Tunggu, jangan langsung kabur ya… mau main rahasia-rahasiaan sama sahabat sendiri, HAH!?” teriak Anita, mengejarku.
“Sebenarnya, apa tujuanmu kemari? Dimana kakakmu? Kenapa baru datang sekarang? Mungkin itu yang akan ditanyakan keponakanku ketika mengetahui siapa dirimu. Tapi hati-hati, dia sudah kehilangan ingatan masa kecilnya. Jangan membuat dirinya ingat akan hal itu.” Kata Paman, membuat mata Hoshikuzu membelalak tak percaya. Paman pun langsung pergi, meninggalkan Hoshikuzu yang membeku di depan gerbang sekolah.
Saat aku berlari melewati kantor guru, aku melihat para siswa yang mengerumuni papan pengumuman. Aku pun menghentikan langkahku. Aku mendesak masuk ke dalam kerumunan diikuti Anita. Dan, ternyata tertempel selembar kertas besar hasil ujian. Aku urutkan mencari namaku dari belakang. Aku tersenyum lebar saat namaku berada di paling atas… Hah, nomor dua? Dan yang pertama, Hoshikuzu? Kok bisa? Ini terlalu aneh dan penuh misteri. Apa dia menyelesaikan semua ujiannya selama 3 hari penuh?
Aku melihat Hoshikuzu yang menatap namanya dinomor paling atas tanpa ekspresi. Pandangannya pun teralihkan olehku yang menatapnya, seolah tidak ada orang lain di antara kami. Hoshikuzu pun tersenyum tipis menatapku. Aku langsung memalingkan wajahku, menjauhinya.
‘Apa boleh seperti ini? Jadi aku tidak bersyukur atas nilai yang aku dapatkan dari Allah? Ini tidak qanaah namanya! Tidak boleh terjadi. Aku harus menerimanya.’ Batinku dalam hati. “Haaah… Alahmdulillah… terima kasih Ya Allah. Dan maaf sempat tidak menerima hal ini.” Ucapku, di bawah pohon rindang di pinggir taman. Tapi kesal juga ya, selama ini akulah yang menjadi ranking satu se-sekolah dan ranking lima se-kabupaten dan ranking sepulu se-provinsi. Dan sekarang malah turun… Arrgghh… aku ini kenapa? Lagi-lagi aku mengeluh! Sudahlah, lupakan hal itu, masih ada ujian nasional yang menunggu! Aku balas nanti di saat itu!
*** *** *** 

Sabtu, 06 April 2013

INGATAN YANG KEMBALI 5

Silahkan dinikmati untuk chapter selanjutnya.... aku senang jika ada yang membacanya, tapi sayangnya hanya aku sendiri, sang pengarang yang membacanya hingga saat ini, yeeeee.....

MENCARI KEBENARAN (Senin)


Kita mulai cerita hari ini di sekolah pada jam pelajaran pertama. Masih seperti hari sebelumnya, Hoshikuzu tetap sebangku denganku. Saat aku menanyakan kenapa ia selalu ingin di sampingku, ia selalu mengalihkan pemicaraannya. Dan aku selalu mengikuti alur yang ia bawa. Dia, murid baru dari Jepang yang misterius. Aku bahkan saking tidak tahu apa-apa tentangnya, aku pernah mengira dia fans beratku. Tapi itu mungkin saja, bukan? Tidak ada yang tidak mungkin, bukan?
“Untuk yang kemarin, terima kasih banyak.” Kataku, saat guru agama sedang menerangkan pelajaran. “Itu sudah kewajibanku.” Balas Hoshikuzu. “Hah?” tanyaku tak mengerti. Kewajiban? Aku bahkan tidak tahu hubunganku dengannya. Apa dia benar-benar waras? “Lupakan.” Jawab Hoshikuzu, cukup lama ia mengatakan itu.
Dia sungguh, sungguh, sangat amat aneh dan misterius. Aku benar-benar tak mengerti yang sedang ia pikirkan. Apa semua orang Jepang sepertinya? Tapi sudahlah, ini tidak ada hubungannya denganku.
Istirahat pun tiba. Aku kembali ke pelukan Anita. Dan seperti biasanya, kami ke kantin memesan makanan kebiasaan kami. “Ya ampun… seperti pahlawan ya. Apa kau benar-benar tak tahu siapa Hoshikuzu itu?” balas Anita, setelah aku menceritakan semua hal yang terjadi kemarin. Aku hanya menggelengkan kepalaku. “Dia sungguh penuh misteri, Tan! Terus setelah kejadian itu, kau diantar Hoshikuzu sampai rumah?” tanya Anita, tertarik dengan ceritaku.
“Ya, begitulah. Padahal aku sudah bilang tidak perlu diantar, ia terus memaksa ikut. Dia itu orang teraneh yang pernah kutemui.” Jawabku, setelah menghabiskan satu suapan. “Bagaiamana dengan tanggapan pamanmu?” tanya Anita terus penasaran.
“Sepertinya paman curiga. Ah… sudahlah! Setelah itu, paman menceramahiku ini dan itu tanpa bisa aku cegah. Katanya tidak boleh berkholwatlah, aku sudah dewasa harus menjaga diri dengan baik, pacaran belum saatnyalah… aaaarrrrggghhh… ini sungguh menjengkelkan! Gara-gara satu cowok, bisa mengubah segalanya. Bukankah itu menyebalkan, An?” jawabku dengan kesal dan meremas sendok hingga bengkok.
“Ya, ya, ya… itutuh, sendok milik orang itu… yah, aku sungguh sangat mengerti seorang paman yang niece complex. Tapi bukankah kau bisa menyangkalnya karena kau sedang berurusan dengan copet?”
“Iya sih… tapi kau tahu sendiri bukan, jika aku menyangkal, paman akan membalasnya dengan yang lebih berat. Pamanku kalau dalam berdebat nomer satu.” Jawabku dengan lemas. Anita pun mengangguk mengerti. “Terus, bagaimana dengan pencopetnya itu? Apa kau akan membantunya seperti yang sudah kau lakukan dahulu-dahhulu?” tanya Anita, menanyai pendapatku. “Iya, ya. Tapi yang dahulu itu kan orang tua, aku pasti membantunya dengan cara lembut. Tapi… kali ini, laki-laki itu… masih muda dan sehat.” Kataku, memikirkan hal yang sama seperti yang Anita pikirkan.
Di kelas saat pelajaran kosong. “Mmm… kemarin, saat kau mengikutiku, aku tidak merasakan orang yang mengikutiku. Bagaimana caranya biar bisa seperti itu?” tanyaku, di sela aku mengerjakan matematika. “Aku tidak berniat untuk mengikutimu.” Balas Hoshikuzu, tidak lepas dari bukunya. Aku hanya melembungkan pipiku. “Hmpf… jangan kau pasang wajah aneh seperti itu.” Kata Hoshikuzu, membuatku mengempiskan pipiku. Aku meliriknya sebentar. Aku heran deh, padahal tadi ia tidak menatapku, bagaimana dia tahu?
“Ajari aku untuk menghilangkan aura.” Kataku, setelah suara bel bertanda jam pelajaran habis. Hoshikuzu pun menatapku heran. “Apa menurutmu aku benar-benar memiliki kekuatan penghilang aura?”
“Kau benar-benar mirip dengan Usui.” Kataku, tanpa sadar, jika aku cukup terpesona padanya. Seketika itu pun aku menutup mulutku dan melanjutkan mengerjakan matematika lagi. “Usui?” tanya Hoshikuzu, penasaran. “Lupakan.” Balasku dengan cepat. Hoshikuzu mengangkat salah satu alisnya tak mengerti.
Waktu sekolah pun usai. Aku melewati pasar yang kemarin aku  datangi. “Semoga bisa bertemu  lagi dengannya.” Harapku. Benar saja, belum lama aku berada di pasar, sudah langsung menemukannya.  Saat aku akan menghampirinya, seseorang menghentikanku. Orang yang sudah akan tertebak untuk kalian, Hoshikuzu. “Arrghh.. Kau penguntit!?” tanyaku dengan kesal saat melihat lelaki pencopet itu telah pergi menaiki bis. “Auww!!!” jeritku saat Hoshikuzu menjitak kepalaku cukup keras. “Kau gila atau stress sih? Mau dikenal banyak orang jahat dengan seragam sekolah? Mau menjelekkan nama baik sekolah?”kata Hoshikuzu membuatku terkejut. Entah kenapa saat mendengar perkataannya, membuatku teringat oleh orang lain. Kepalaku cukup pusing untuk mengingat orang itu.
“Hei, kau tidak apa-apa? Apa pukulanku sesakit itu?” tanya Hoshikuzu dengan cemas. “Bukan… ah, tidak. Aku baik-baik saja.” Jawabku. Tetapi melihat mata Hoshikuzu, sepertinya ia tidak setuju. “Ah, sudahlah. Tadi maksud dari kalimatmu itu apa?” lanjutku, menghilangkan suasana cukup romantis tadi. “Dia mungkin akan lama kembalinya. Kurang lebih jam setengah tujuh malam nanti. Sekitar jam itu, kembalilah kemari. Aku akan membantumu.” Jawab Hoshikuzu membuatku heran. “Bagaimana kau tahu? Bukankah kau tidak mengenalnya?”
“Apa kau akan menunggunya kembali dengan mengenakan seragam? Apa kau akan menunggunya hingga larut malam tanpa kenal lelah? Kau bukan Muhammad yang kuat, kau adalah Siti Khodijah yang tidak melakukan hal keras seperti itu.” Balas Hoshikuzu membuatku tersentak. “Bagaimana…” kataku tanpa menyelesaikan kalimatku. “Kau selalu mengatakannya.” Jawabnya, menghentikan taksi dan mempersilahkanku masuk. Dia sungguh aneh, bahkan aku tidak pernah mengatakan apapun padanya dan… dia benar-benar aneh. Baru pertama ini aku menemukan sesosok orang yang mirip dengan tokoh komik.
Jam setengah tujuh, aku kembali ke pasar itu, meski ada kesulitan untuk sampai di sini. Saat ini, pasar terlihat sangat ramai karena hari ini jadwal pasar malam diadakan di sini. Aku menemui Hoshikuzu yang telah menunggu di sekitar komedi putar. “Terus, sekarang bagaimana?” tanyaku, bersandar pada tiang listrik yang menjulang tinggi disinari oleh terangnya lampu. Dia tidak menjawab apa-apa, hanya menunjuk ke arah jauh kedepan. Dan, itu… lelaki pencopet yang baru saja turun dari bis! Aku langsung menatap Hoshikuzu tak percaya. “Bagaimana kau tahu?” tanyaku terkejut. “Bukan bagaimana yang harus keluar dari mulutmu. Tapi apa rencanamu setelah ini?” balas Hoshikuzu. Aku pun terenyak dengan kata-katanya. “Dan, apa kau punya rencana?” tanya Hoshikuzu, dengan gayanya yang sok. Aku menelan seteguk ludahku dan menggelengkan kepala. Hoshikuzu pun menghela nafas panjang. “Ah, tapi rencanaku saat itu hanya akan berbicara padanya.” Kataku dengan cepat. Aku pikir rencanaku cukup baik, namun melihat Hoshikuzu yang menghela nafas kembali, sepertinya buruk. “Sudah kuduga. Kau memang tipe yang begitu, meski terlihat dingin di kulitnya saja, tapi dagingnya begitu cengeng.” Balas Hoshikuzu. Aku pun langsung melembungkan pipiku. “Hmpf… sudah kukatakan jangan lakukan hal aneh itu!” Kata Hoshikuzu yang menahan tawanya. Melihat dia seperti itu lagi, entah kenapa membuat pipiku merona. Tapi, aku langsung menyadarkan diriku bahwa ini adalah godaan setan yang terkutuk! Aku tidak boleh menuruti nafsu ini!
“Jadi, kau punya rencana?” tanyaku. “Bukankah Tuhanmu telah menciptakan lelaki lebih pintar dari perempuan?” balas Hoshikuzu dengan tangan menunjuk kepalanya. “Kau, orang Islam?” tanyaku tak percaya. “Aku seorang komunis.” Jawab Hoshikuzu dengan santainya, membuatku memalingkan wajahku kesal. “Aku heran orang komunis yang tidak mempercayai sebuah agama. Terus, apa tujuan hidup kalian?” tanyaku, dengan tatapan menyelidik. “Dahulu aku menganut agama yang dianut nenek moyang di Jepang, setelah dewasa aku berfikir, mana sebenarnya yang benar? Pada akhirnya aku memutuskan tidak terlibat pada agama mana pun hingga aku tertarik dengan agama yang kau anut. Tapi aku belum meyakini itu. Menjadi komunis, tidak sepenuhnya salah. Terkadang ada orang yang menjadi komunis karena mencari kebenaran.” Aku pun tercengang mendengar alasan mengapa ia menjadi komunis. Pemikiran orang memang beragam. Dan aku cukup setuju dengan pendapatnya. Setidaknya dia tertarik pada Islam, dan setelah itu baik jika ia menganutnya.
“Jadi, apa rencanamu?” tanyaku. “Kita cari kebenarannya. Apa benar keluarganya terkena penyakit. Dan kenapa harus mencopet?” jawab Hoshikuzu. “Jadi, kita stalker?” tanyaku tak percaya. “Apa tidak ada sebutan yang lebih baik dari stalker? Kita hanya mengikutinya saja, untuk mencari kebenaran.” Balas Hoshikuzu. “Penguntit, donk?” tanyaku lagi. Ia pun menatapku tajam. Aku hanya menyengirkan bibirku, tanpa merasa bersalah.
Akhirnya kami pun memata-matai lelaki itu. “Ternyata begini toh caramu mengikutiku.” Kataku cukup kagum dengan cara yang Hoshikuzu tunjukkan. Berjalan santai di belakangnya tanpa memandang orang yang sedang diikuti. Jangan berfikir apa pun tentang orang itu. Berbaurlah pada banyak orang. Jika jalan sepi, jaga jarak cukup jauh padanya. Jika orang itu menengok, jangan tergesa-gesa untuk bersembunyi.
Kemudian kami melihat lelaki itu memasuki sebuah rumah yang cukup ramai didatangi. Terdengar suara sangat riuh di dalam sana hingga diluar terdengar cukup jelas. “Itu tempat zina...” Lirihku, tak percaya. Hoshikuzu pun menatap penampilanku dari ujung kaki hingga ujung kepala. “A, apa!?” tanyaku tak mengerti. “Dengan pakaianmu saat ini, tidak mungkin kau akan masuk, kan?” balas Hoshikuzu. “Mmhh… benar.” Balasku, menundukkan kepala. “Haah… kau tunggu disini dan panggil polisi yang cukup jauh dari sini, aku akan menyuruh anak itu keluar dari tempat itu.” Kata Hoshikuzu, memberitahu idenya.
“Tapi jika terlambat, kau juga akan…” kataku tanpa sadar. Aku pun langsung menutup mulutku. Hoshikuzu pun tersenyum mendengar perkataanku. “Tenang saja, aku sudah menyiapkan segalanya.” Mendengar itu, aku terkejut membelalak tak percaya. Cukup lama aku menatapnya tanpa berkedip. “Hahaha… wajahmu sungguh aneh! Sudahlah, yang penting aku sudah menyuruhmu, ya.” Kata Hoshikuzu, mengusap kepalaku dengan lembut. Kemudian ia pun pergi memasuki tempat itu. Aku pun mengambil Hp-ku dan menulis sms untuk Hoshikuzu. Setelah terkirim, baru aku menelepon kantor polisi untuk segera datang.
Saat Hoshikuzu akan memasuki rumah maksiat itu, langkahnya terhenti oleh dering sms. Ia pun mengambil Hp-nya dari saku celana yang ia kenakan. Tertulis di layar Hp sms dariku. Ia buka sms itu. Ia membacanya sambil berjalan masuk ke rumah maksiat. “Aku berdo’a kepada Tuhanku, Allah. Semoga dikau dibukakan pintu hidayah oleh-Nya. Sesungguhnya hanya Allah, Tuhanku yang bisa membukakannya.” Membaca itu, Hoshikuzu tersenyum diikuti duduknya ia disebuah tempat yang penuh asap rokok. Hoshikuzu pun menatap mereka dengan tatapan was-was sekaligus tidak senang. Semua orang yang mengelilinginya terdiam, kemudian tertawa terbahak-bahak setelah saling memandang kesesama temannya. Tiba-tiba Hoshikuzu berdiri saat melihat lelaki pencopet melewatinya. Ia pun segera mengikuti lelaki itu, namun tangannya terhalang oleh lelaki bertubuh besar nan kekar. Hoshikuzu menatap semua orang yang mengelilinginya. “Aku tidak ada waktu untuk memainkan hal kekanakan seperti ini.” Kata Hoshikuzu, memancing amarah orang yang mendengarnya. Salah seorang dari mereka memukul meja dan menantang Hoshikuzu, “Kau berani mengatakan hal macam-macam tentang permainan suci ini!?”
“Aku tidak punya waktu untuk melayani kalian. Aku harus pergi.” kata Hoshikuzu dengan santainya, namun sesekali ia melirik lelaki pencopet itu yang sedang menunggu di depan pintu. “Kurang ajar! Aku menantangmu!” bentak yang lain ikut tak terima. Hoshikuzu menatap mata amarah orang-orang maksiat itu. Kemudian ia melirik kembali lelaki pencopet itu. Lelaki itu  masih tetap menunggu di depan pintu. “Aku tidak membawa uang. Aku tidak semestinya di sini. Permisi.” kata Hoshikuzu, mencoba untuk menghindari perzinaan. “Tadi kau berani berkata yang tidak-tidak dengan permainan suci ini, setidaknya kau jadilah bonekaku untuk permainan ini.” Kata seseorang yang lainnya. Penampilannya begitu berkesan dengan rambut putih menghias kepalanya dan jas mewah menyelimutinya.
‘Apa polisi itu masih lama?’ batin Hoshikuzu mulai kesal. “Aku tidak tertarik dengan permainan anak TK ini. Aku harus pergi.” kata Hoshikuzu, mulai memberontak. “Hanya sekali, apa susahnya!?” kesal orang pertama tadi. “Kau tidak takut, bukan?” tanya orang ketiga menatap mata Hoshikuzu. “Aku tidak akan tergoda dengan perkataanmu itu.” Balas Hoshikuzu menatap tajam orang ketiga yang sudah lanjut usia. Orang ketiga itu pun memepertajam penglihatannya mengadu pandang dengan Hoshikuzu. “Bagaimana jika tanpa uang?” tawar orang ketiga itu.
“APA!? Jika begitu membuang waktu!” bentak orang pertama bersamaan memukul meja tak setuju. “Apa yang membuatmu percaya jika dia pemain hebat, Kol?” selidik orang kedua. “Aura. Auranya menunjukkan aura seorang pemenang.” Jawab orang ketiga, menatap seluruh badan Hoshikuzu. “Apa pun yang berbau dengan permainan kekanakan ini, aku tidak akan mengikutinya.” Tegas Hoshikuzu, mencoba melepas pergelangan tangan lelaki besar itu. Ia pun mengadu pandang dengan lelaki besar itu. Namun kejadian itu tidak menjadi adu pandang yang panjang karena suara sirine mobil polisi yang cukup keras, membuat semua orang berlari ketakutan dan mencoba menyelamatkan diri sendiri, termasuk lelaki besar yang telah menggenggam lengan Hoshikuzu dengan keras. Hoshikuzu pun segera mencari lelaki pencopet yang sedang sibuk melarikan diri juga karena mendengar sirine polisi.
Ia melihat lelaki pencopet itu sedang bersembunyi di belakang tirai. Ia pun langsung membuka tirai itu dengan cepat, membuat lelaki itu terkejut. Tanpa mengucap apapun, Hoshikuzu langsung menarik tangan lelaki itu. “Wo, wo, woe… apa-apaan ini!? Kau bukan polisi!” kata lelaki pencopet itu mencoba memberontak.
Meski sudah mengatakan hal itu, lelaki itu tetap mengikuti Hoshikuzu hingga menemuiku di belakang rumah maksiat bersama dengan mobil picanto merah keluaran baru. “Ka, kau… aaiisshh! Ternyata kau yang memanggil polisi?” tanya lelaki itu, kesal. “Siapa namamu?” tanyaku, tanpa basa-basi. “Ka, kau…” balas lelaki itu, kesal. “Widodo Surya.” Sela Hoshikuzu, melirik lelaki pencopet itu dengan tajam. “Kenapa kau melakukan hal dosa untuk kesembuhan keluargamu?” tanyaku, menatap sedih lelaki itu. Mendengar itu, lelaki itu menatap tajam padaku.
“Apa kau pikir bisa bekerja dengan ijazah SMP? Bahkan mungkin tidak ada di dunia ini! Jika ada juga gaji tidak seberapa. Sebaiknya kau pikir dahulu jika akan bertanya!” marah lelaki bernama Surya itu. Aku menutup mulutku dengan air mata yang menggenang. Hoshikuzu menatapku, ikut bersedih.
Kemudian kami berada di rumah Surya. Melihat keluarganya yang tergeletak lemah di atas lantai yang hanya beralaskan tikar. Setetes air mataku mengalir di pipi, melihat keadaan keluarganya yang sungguh sangat amat kasihan. “Penyakit keturunan…” lirihku. “Bukan! Jika ini keturunan, bagaimana aku bisa sesehat ini?” sangkal Surya, tidak terima. “Maaf… ini baru pertama kalinya aku melihat ini secara langsung.” Kataku, menghapus air mata yang kembali mengalir.
“Aku sudah mencoba melamar pekerjaan apapun termasuk menjadi pembantu, namun tidak ada yang mau menerimaku karena umurku yang dibawah umur. Terkadang tetangga membantu, tapi hanya semampunya. Kalian lihat sendiri bukan, desa ini tidak makmur. Akhirnya, aku menyerah kepada lintah darat meminjam uang pada mereka 5 juta. Setan pun berbisik agar uang itu dimainkan. Dan aku menang. Ya, awalnya aku menang dan dapat mengembalikan uang itu keesokan harinya kepada llintah darat. Kemudian adikku yang terkecil aku bawa ke rumah sakit, sempat rawat inap, namun setelah uang habis, rumah sakit mengeluarkannya.” Jelas lelaki itu, dengan linangan air mata. Mendengar itu, tak kuasa aku menahan air mata ini. Sungguh kejam dunia yang ia tempuh. Namun dia sungguh beruntung jika dia setegar ini, tidak meninggalkan keluarganya, dan selalu berusaha keras untuk menyembuhkan mereka.
Tiba-tiba, darah keluar dari mulutku. Saat itu juga, Hoshikuzu dan Surya melihat darah itu. “Ka, kau tidak apa-apa?” tanya Hoshikuzu, terlihat cemas. Aku pun langsung mengeluarkan tisu dari saku jaket dan langsung mengelap darah yang keluar dari mulutku. “Tidak apa-apa. Jangan hiraukan aku. Terus, bagaimana mereka bisa seperti ini?”
“2 tahun yang lalu, keluargaku diajak oleh keluarga majikan ibuku pergi ke Jepang. Saat itu aku tidak ikut karena fokus untuk ujian nasional. Dan mereka semua pergi ke Jepang dengan perasaan bahagia. Namun beberapa hari setelah itu, di Jepang ada insiden kebocoran bahan radiasi dan keluargaku terkena radiasi itu. Dan majikan ibuku meninggal bersama keluarganya yang lain dalam kecelakaan beberapa jam setelah kebocoran radiasi. Dan keluaragaku pulang dengan keadaan menyedihkan. Ada uang untuk menebusnya, namun itu tidak mencukupi keluarga kami yang sungguh miskin.”
Aku menggelengkan kepalaku tak percaya. “Ini terlalu menyedihkan. Kau, orang yang hebat, Surya.” Kataku, meneteskan air mata. “Tidak, bahkan aku tidak bisa menerima ini. Setiap malam aku mengeluh pada Tuhanku, melaknat semua yang ada disekitar. Mempertanyakan kenapa nasib keluargaku semalang ini? ”
“Huuuwwweee…” tangisku, menjatuhkan diri ke lantai. “Sungguh Allah Maha Besar. Kau sungguh lelaki yang bertanggung jawab. Hatimu sungguh besar. Bahkan kau tidak punya niat untuk meninggalkan keluargamu yang lemah dan berusaha untuk memberi mereka makan. Bagaimana ini… ternyata masih ada orang yang seperti kau di dunia ini. Allah sungguh membuatku terkejut… ini sungguh mengejutkan…” rengekku, terus menyeka air mata yang tak henti-hentinya mengalir. Hoshikuzu dan Surya terlihat heran melihat tingkahku dan sekaligus bingung.
Di depan rumah, Paman membuka pintu garasi dengan wajah masamnya. Terlihat jelas jika Paman akan mengungkapkan semua perasaan yang ia rasakan. Mungkin pembicaraannya akan sampai Subuh, apalagi jika ada Hoshikuzu di sampingku.
Di dalam ruang tamu, terduduklah Paman, aku dan Hoshikuzu. “Jam berapa sekarang, Tania?” tanya Paman menahan amarahnya. Aku menelan ludahku. “11;45.” Jawabku. “Dan…” kata Paman, melirik Hoshikuzu. “Benar kau Hoshikuzu?” lanjut Paman. Hoshikuzu hanya mengangguk pelan. “Apa yang kau lakukan dengan keponakanku hingga larut malam begini!? Dan kenapa ponselmu tidak aktif Tania!?” bentak Paman, sudah mulai pemanasan.
“Ma, maaf, Paman. Hp-ku batrainya habis.” Jawabku. Paman pun menatapku tajam. Kemudian ia mendekatiku saat darah masih terlihat di dekat bibirku. “Apa yang telah kau lakukan, HAH!?” teriak Paman, mulai marah. “Pa, Paman, ini bukan salah Hoshikuzu. Paman jangan marah.” Selaku, mengetahui apa yang ada dipikiran Paman.
“Pa, Paman… Paman tidak apa-apa?” tanyaku, saat melihat Paman menunduk di pangkuanku. “Sekarang, kenapa kau bersedih? Sebenarnya semakin kau dewasa, semakin Paman bingung harus memperlakukanmu seperti apa. apa menurutmu, Paman ini pantas menjadi orang tua penggantimu?” tanya Paman, masih dalam keadaan menunduk. “Paman benar-benar…” kata Paman, yang kalimatnya terputus karena aku. “Ssst… Paman mulai mengeluh padaku. Bukankah Paman yang bilang jika kita harus berusaha supaya tidak mengeluh? Yang Paman lakukan cukup seperti yang dilakukan Paman sebelum-sebelumnya.” Mendengar itu, Paman pun mengangkat kepalanya menatapku. Tangannya pun memegang daguku.
“Julurkan lidahmu.” Perintah Paman. Kemudian tanpa menentang, aku julurkan lidahku. “Sudahku katakan jangan ditahan. Kenapa juga masih kau tahan, Tania?” tanya Paman memandangku kasihan. Melihat itu, Hoshikuzu cukup tercengang. “Tidak apa-apa, Paman.” Balasku, menyingkirkan tangan Paman. “Bagaimana dengan Hoshikuzu?” tanyaku, menatap Hoshikuzu yang sedang melihat kami dengan tatapan tanda tanya.
“Malam ini menginaplah di sini.” Kata Paman setelah ia tegapkan tubuhnya kembali. “Apa!? Paman bercanda?” tanyaku tak percaya. Paman pun memandangku untuk sesaat.
*** *** *** 

Kamis, 28 Maret 2013

INGATAN YANG KEMBALI 4

Jujur saja aku takut jika cerita ini membuat kalian so boring... jadi tolong beri masukan agar cerita lebih berwarna... 


JANGAN BUTA (Ahad)


Mmm… aku bingung harus mengawali cerita pagi ini bagaimana. Kalian sudah tahu bukan kebiasaan pagiku? Yah, kalau masih dalam masa haid, pagi-pagi begini kalau tidak menjahili Paman, mungkin juga menyapu atau menyiapkan sarapan. Ah, benar juga, kalian tidak tahu ya, jika di sini tidak memakai jasa pembantu? Semuanya sendiri. Kecuali mencuci dan setrika. Jika ada waktu luang, barulah kami melakukannya sendiri. Dan kali ini kalian bisa melihat kemesraan kami untuk hal itu. Di hari Ahad yang cerah ini, kami akan mencuci bersama. “Semoga cuciannya cepat kering.” Mulailah kami menjemur.
Tak lama kemudian kami selesai menjemur. “Alhamdulillah… hari ini selesai lebih cepat.” Kata Paman, setelah melepas lelah. “Mau aku buatkan kopi, Paman?” balasku, menawarkan. “Tidak usah. Lebih baik kau cepat ke pasar sebelum semua dagangan para pedagang habis.” Jawab Paman, merogoh celananya. “Baiklah.” Balasku, mengambil uang dari tangan Paman.
Aku pun berganti baju kemudian bergegas pergi ke pasar. Sampai di pasar, ternyata pasar mulai sepi. Jika seperti ini, lebih enak masak apa? Yang  murah dan bergizi namun juga masih terjual di pasar yang mulai sepi ini. Aku pun mulai mencari bahan-bahan yang dibutuhkan. Gandum, telur, terigu, kacang  panjang, cabe merah, cabe hijau, bakso, ikan, dan jagung. Entah apa jadinya nanti, tapi yang pasti akan menjadi masakan yang enak. Kemudian aku pun menghalau bis untuk pulang.
Ku masuki bus itu setelah ia berhenti dan menurunkan beberapa orang. Uh… paling tidak menyenangkan ya di dalam bis ini. Bermacam-macam bau badan orang menjadi satu. Uh, ini benar-benar mengesalkan, namun mau bagaimana lagi, bis Indonesia memang begini.
Saat aku sedang nikmatnya menyandarkan tubuhku di kursi hitam yang tidak empuk itu, aku melihat seorang lelaki sedang mengincar sesuatu dari tas seorang ibu berposturkan gemuk, pendek, dan ipel-ipel. Aku pun beranjak dari tempat dudukku dan memperbolehkan ibu-ibu itu duduk di bangkuku. Aku melihat lelaki tadi. Ia terlihat sangat kesal. Namun ia tidak menyerah dan mulai mengincar dompet yang lain. Ia jalan ke belakang, aku pun mengikutinya. Dan sekarang ia mengincar dompet seorang pria berposturkan lebih tinggi darinya dengan rambut, eh… rambutnya mirip dengan Hoshikuzu! Eh, kenapa aku langsung teringat olehnya? Ah, fokus ke lelaki pencopet itu saja. Saat tangan pencopet itu akan mengambil dompet dari saku seorang cowok itu, aku pun menabrak orang itu dengan sengaja. “Ah, maaf. Tadi saya tersandung.” Kataku, menunduk bersalah. Selang, aku mengintip lelaki pencopet itu. Ia terlihat kaget melihatku ada di belakang. Ia terlihat melihatku tidak senang. Aku melihat cowok yang uangnya hampir kecopetan itu. Aku pun terkejut dengan apa yang kulihat. “Ho, Hoshikuzu?” ia tidak membalas perkataanku. Ah, tapi aku juga tidak ingin mendengar suaranya. “Itu sangat berbahaya, kau tahu?” kata Hoshikuzu tanpa menatapku. “Eh, maaf. Namanya juga tersandung.” Balasku, melepas tangan Hoshikuzu dari pundakku. “Bukan itu.” Kata Hoshikuzu. Aku pun menatap matanya yang sedang mengarah ke… wo… ke lelaki pencopet? Apa dia melihatnya? “I, itu… aku hanya ingin menegaskan bahwa aku tidak buta!” Jawabku dengan tegas setelah aku mengerti maksud dari perkataannya. Aku pun kembali mengikuti lelaki pencopet itu lagi. Namun kelihatannya ia sudah menyerah, atau punya maksud lain? Tak ada yang tahu selain Allah dan dirinya sendiri. “Begitu…” lirih Hoshikuzu.
Bis pun berhenti. Tujuan lelaki itu sama denganku. Dan, kenapa Hoshikuzu juga mengikutiku? “Ada apa denganmu?” tanyaku tak mengerti. “Jangan ge-er. Aku hanya ingin pergi ke toko buku.” Balas Hoshikuzu, melegakanku. Aku pun berlalu. Niatku ingin mengikuti lelaki pencopet itu lagi, namun gara-gara laki-laki yang ada di belakangku, aku kehilangannya. Niatku itu pun terpendam. Dan aku akhirnya memutuskan untuk pulang.
Aku dan Hoshikuzu berpisah di perempatan kecil. Dan aku tanpa khawatir terus berjalan dan mendengar lengkah kaki Hoshikuzu yang semakin jauh dariku. Eh, kenapa aku peduli padanya? Ah, bodo’ ah! Aku pun terus melanjutkan langkahku. Namun di tengah jalan, aku… aku bertemu dengan lelaki pencopet itu lagi? Ah, tapi sudah kuduga sih. Dia marah karena aku selalu mencegahnya beraksi. Aku jadi ingat, dahulu aku juga melakukannya. Tapi bukan dengannya, dengan orang lain.
“Serahkan semua uangmu!” bentak lelaki itu, sedikit mendekatiku. Aku hanya diam berusaha menentangnya. “Uang atau nyawa!?” bentak lelaki itu. Aku tetap diam dan terus menentangnya melalui tatapan mataku. “Ka… u…” kata lelaki itu, dengan tangan kanan mengambil pisau dari saku celana kanannya. Aku tetap berusaha tenang. Saat pisau itu akan keluar dari saku lelaki itu, tangannya dihalang oleh Hoshikuzu. “Ho, Hoshikuzu?” lirihku tak percaya. “Sudah kuduga kau akan menyelamatkannya.” Kata lelaki itu, membuang pisau yang ia bawa.
“Kenapa kau lakukan itu?” tanya lelaki itu kepadaku. Aku menatapnya tak mengerti. “Itu hal yang sangat berbahaya. Jika kau memergoki pencopet selain aku, saat ini kalian berdua mungkin tidak akan selamat.” Lanjut lelaki itu, melepaskan belenggu tangan Hoshikuzu. Aku pun tersenyum kecil mendengar hal itu.
“Apa kelihatannya aku buta?” aku berbalik tanya pada lelaki itu. “Hah?” balas lelaki itu. “Aku tidak ingin dianggap buta, ataupun membenarkan tindakan yang tidak benar. Itu akan membuat kiamat semakin cepat.” Lanjutku, menjelaskan.
“Bagaimana dengan konsekuensi nyawa?” tanya lelaki itu. Kelihatannya dia mulai tertarik dengan perbincangan ini. “Allah yang akan menyelamatkan orang yang membela agama-Nya. Atau jika nyawanya melayang, mungkinkah itu bisa disebut mati syahid? Aku percaya pasti bisa.” Jawabku, dengan senyum kebanggaan terukir di wajahku.
Suasana pun menjadi sepi untuk sesaat. Hanya suara kendaraan dan klakson yang bersahut-sahutan. “Jadi, kenapa kau melakukan hal yang dilarang Allah?” tanyaku, tak mengerti.  “Omong kosong. Apa kau tidak bisa melihat? Jaman sekarang, tidak seperti jaman dahulu. Cobaan jaman sekarang tak semudah dahulu.” Balas lelaki itu, tak menjawab pertanyaanku.
“Begitukah? Bagaimana dengan Rasulullah yang telah susah payah menyebarkan agama yang paling benar? Apa itu mudah? Apa kau pernah berfikir seberapa besar cobaan yang Allah berikan padanya? Untuk agama yang paling benar ini, cobaannya tidak jauh beda. Jaman sekarang bisa disebut jaman jahiliah. Sama saat Rasulullah menyebarkan agamanya. Sungguh Maha Adil Allah.” Jelasku, dengan suara bergetar.
“Omong kosong dengan hal itu. Dia sama sekali tidak pernah memberkati keluargaku yang miskin. Keluargaku… bapak, ibu, adik… mereka semua sakit-sakitan. Tak ada… tak ada berkah pada keluargaku. Kau, orang seperti kau, benar-benar tidak mengerti kami.” Balas lelaki itu, teringat pada keluarganya. Tanpa terasa, aku menggenggam tangan Hoshikuzu yang entah sejak kapan ia berada di sampingku.
“Aku turut prihatin kepada orang yang tidak pernah bersyukur. Ini sungguh menyedihkan. Inikah kepedihan yang dirasakan Rasulullah dahulu? Kau… bersyukurlah, niscaya Allah akan memberimu kemudahan.” Balasku, menyeka air mata yang akan menetes. Lelaki itu pun berlari meninggalkan kami setelah dia menatapku cukup lama. Aku pun langsung menjatuhkan diriku ke tanah. Hoshikuzu terlihat terkejut dengan apa yang aku lakukan. Matanya langsung tersentak saat ia mendengar apa yang aku katakan, “Maha Benar Allah. Maha Adil Allah. Sungguh menyedihkan orang-orang yang tidak bersyukur. Kenapa… hiks… kenapa… ini semua bisa terjadi?”
*** *** *** 

INGATAN YANG KEMBALI 3

Bagaimana? Apa menarik? Masih ada lanjutannya, silahkan dinikmati. Semoga kalian senang dengan cerita ini...

MURID BARU MERUBAH SEGALANYA (Sabtu)


                “Gila! Jantungku berdetak terlalu keras kemarin!” seru Anita saat aku memarkirkan pantatku di bangku. Aku hanya tersenyum mendengarnya. “Sebenarnya pekerjaannya itu apa sih? Potongannya cukup rapi untuk seorang cowok, hlo!” lanjut Anita tak berhenti kagum. “Jangan terlalu kagum. Pamanku tidak sehebat Allah.” Balasku. “Itu terlalu pasti, Taniaku sayang.” Aku hanya tersenyum lagi mendengarnya. “Paman hanya seorang manager marketing.” Jawabku. “HEEEH!!! Gak mungkin! Masa’ bisa memotong rambut sehebat ini?” balas Anita tak mempercayai. “Katanya ada seorang cewek yang mengajarinya. Cewek itu bakal jadi bibiku. Tapi bukan pacarnya Paman.” Jawabku, mengeluarkan buku pelajaran dari dalam tas.
“Ah, payah! Benar juga… orang ganteng pasti sudah memiliki pasangan. Apalagi seorang muslim. Rumit untuk menjelaskan hubungan Pamanmu, ya!” kata Anita. “Yah, begitulah. Bagaimana besok denganku, ya? Hahaha… itu masih terlalu jauh.” Balasku, dengan tangan menyalin pekerjaan milik Anita.
“Apa kau kecewa?” tanyaku pada teman sebangkuku. “Mo? Apa menurutmu aku menyukai pamanmu? Aku hanya mengaguminya.” Jawab Anita. “Apa aku harus percaya?” balasku, menggoda Anita. “Aish…” balas Anita, aku hanya tertawa melihat ekspresinya itu.
Bel masuk pun berbunyi. Guru biologi memasuki kelas kami yang… cukup bisa dibilang kinclong! Eeehhh… guru biologi itu membawa seorang murid baru? Suasana kelas menjadi bising mempertanyakan murid baru itu. Rambutnya yang cukup gondrong hingga bawah telinganya dan berponi. Dengan tindik yang cukup banyak di bagian telinga kanan dan kirinya, memperlihatkan jika dia tipe orang yang tidak kusukai. “Hari ini kita kedatangan murid baru dari luar negri. Perkenalkan dirimu, Nak.” Kata guru biologi itu. Aku tak mengerti apa alasannya guru itu berbicara bersamaan dengan keluarnya keringat yang kelihatannya itu adalah keringat ketakutan. Murid-murid yang lain ramai menanyakan hal yang sama seperti pertanyaanku, ‘kenapa dia pindah disaat akan menghadapi ujian?’ kalian heran juga? Yah, berarti kalian tipe orang yang rata-rata. Kalian tidak jauh beda dari aku dan yang lainnya. Kalian tipe yang mudah beradaptasi.
“Jangan pernah merepotkanku.” Kata murid baru itu dengan dinginnya. “HHHHEEEEE….?” Balas murid-murid yang lain dengan sangat serempak. Aku juga termasuk, lhoh… aku benar-benar heran dengan murid baru itu. Bu guru biologi juga cukup tercengang dengan tingkah murid didik yang satu ini. Tapi kelihatannya guru ini mengerti benar sikap murid baru ini. Haah… ini memusingkanku! “Ah! Baik-baik dengan murid yang satu ini, ya. Dan, silahkan kau pilih bangku yang kau suka.” Kata guru itu dengan gugup. Ini sangat mencurigakan. Ah, sudahlah, dia juga bukan urusanku.
“Aku akan duduk disebelah cewek berjilbab dan berkacamata itu.” Kata murid baru itu. Sekali lagi dia sukses membuat satu kelas tercengang kembali. “Tania? Tapi dia sudah ada teman sebangku.” Balas guru biologi dengan tingkah grogi dan tak ada kepercayaan diri.
“Heee… ternyata kalian saling kenal, ya?” tanya Anita, terheran-heran. “Jika aku mengenalnya, sudah sedari tadi aku menyapanya.” Balasku, menatap Anita tidak senang. “Eh, kelihatannya kau tidak menyukainya.” Balas Anita, tak percaya. “Ya!” jawabku dengan tegas.
“Perhatian… baiklah, jika begitu. Tania, apa kau keberatan sebelahan dengan Hoshikuzu?” tanya Bu guru biologi itu pada akhirnya meminta pendapatku. “Ya!” jawabku dengan singkat dan tegas.
“Eh, apa kau yakin, Tan?” bisik Anita tak percaya. Anita menatap murid baru yang bernama Hoshikuzu. Wajah si anak baru itu terlihat menatap tajam kearahku. “Akuma… Amai…” kata Hoshikuzu dengan senyum liciknya, kemudian ia pun menghampiriku. Pandangan seluruh kelas pun tertuju pada kami. “Kau, selalu seperti itu.” Bisik Hoshikuzu, membuatku membelalak tak percaya. Dia membalas dengan senyum sinisnya. “Ta, Tania, dia mengenalmu.” Kata Anita. “Benar... Apa kau mengenalku?” tanyaku, menatapnya tajam. “Bagaimana denganmu?” balik tanya Hoshikuzu. Dia pun menyingkirkan tas Anita dan membuat Anita pergi dari bangkunya. “Aku akan lebih banyak bertanya dengan perempuan ini. Jadi kau dan yang lainnya tidak perlu mencemaskanku.” Kata Hoshikuzu berbicara pada guru biologi yang sedang membeku di depan kelas.
Pelajaran pun dimulai kembali tanpa ada keributan. Namun itu hanya berlangsung 5 menit. Dan bel pun berdering dengan nyaringnya. Pergantian jam pelajaran dimulai. Kelas pun menjadi bising. Dan tidak sedikit pula yang sedang membicarakanku dengan cowok baru ini. “Apa di Indonesia menyenangkan?” tanya Hoshikuzu, yang sedari tadi saat jam pelajaran memandangku terus. “Bukankah kau sudah lama ada di sini?” balik tanya aku, tanpa memandangnya sedikit pun. “Kau tipe yang cukup pintar juga, ya.” Puji Hoshikuzu. Aku sungguh tidak menyukainya. “Aku dengar orang Indonesia cukup ramah. Bagaimana denganmu?” tanya Hoshikuzu kembali. “Apa di Jepang orangnya pada galak-galak?” balik tanya aku kembali. “Baiklah, akan aku layani permintaanmu.” Balas Hoshikuzu, membuatku cukup memandang wajahnya yang mulai serius (bermain). “Bagaimana dengan pelajarannya? Menurutku level SMA disini mungkin seperti level SMP disana kali, ya?”
“Apa menurutmu aku ini suka bemain macam seperti ini? Ini memalukan.” Balasku, menyudahi permainan sebelum dimulai. “Apa itu tidak menarik? Permainan apa yang menurutmu menarik?” tanya Hoshikuzu tidak mau menyerah. “Apa itu penting?” balasku dengan dinginnya. Untuk sementara, mungkin itu membuatnya bungkam. “Apa boleh aku minta jadwal pelajarannya?” tanya Hoshikuzu mulai membuka pembicaraan baru. Untunglah bukan hal pribadi lagi. “Mintalah ke ruang TU.” Jawabku sedikit melunak. Senyum kemenangan terukir pada wajah Hoshikuzu.
Setelah pelajaran, dilanjutkan istirahat pertama. Aku kembali kepada Anita kusayang. Haaah… rasanya seperti sudah seminggu tidak bersamanya. “Pusing dekat dengannya. Anita, aku ingin bersebelahan denganmu lagi. Aku bahkan lebih berisik dari biasanya jika duduk dengannya. Bukankah tujuan utama sebangku ada dua jenis kelamin itu agar tidak ada yang ramai, tapi kenapa aku dengannya malah lebih ramai dari biasanya. Apalagi dia yang selalu mengajakku ribut. Dan aku benar-benar kesal saat guru menegurku. Itu baru yang pertama dalam kehidupan SMA ku ditegur oleh guru. Itu sangat memalukan, Anita. Dan dia sangat cerewet. Haaah… rasanya sangat menyebalkan. Aku ingin duduk denganmu lagi.” Keluhku pada Anita. Meski aku mengeluh sepanjang sungai nil, dia akan tetap terus mendengarkanku. Itulah tipe sahabat yang aku sukai. Apalagi setelah aku berkeluh kesah, dia pasti menanggapinya.
“Kau berubah, Ya.” Kata Anita. “Eh?” balasku tak mengerti. “Biasanya kau mengeluh kurang dari 20 detik, itu pun sudah menyangkup semuanya. Dan sekarang, cuma karena masalah satu cowok, kau mengeluh sangat banyak dan panjang. Aku sih tidak keberatan untuk mendengarnya. Hanya cukup terkejut saja.” Jawab Anita membuatku sadar. Aku terlalu perhatian pada murid baru itu. Itu bukanlah tipeku. Ini terlalu rumit. “Kau benar…” tanpa tersadar aku mengikuti arah pembicaraan lelaki itu.
“Tapi Tan, Hoshikuzu itu lumayan keren juga, bukan!? Bahkan dia kereeeeennnn abis!!!!” kata Anita dengan semangat membaranya. “Aku lebih suka Rasulullah. Aku bahkan bisa membayangkan setampan apa Rasulullah.” Balasku, dengan menatap jauh ke langit. “Aku pikir kau tidak akan dapat bertemu dengan Beliau.” Kata Anita, memandangku tanpa ekspresi. “Hehehe… iya juga sih. Aku terlalu bermimpi, ya!” balasku, membenarkan perkataan Anita.
Seperti ada yang mengikuti. Apa hanya perasaanku saja ya? Aku pun membalikkan tubuhku secara tiba-tiba. Tapi tidak ada yang menatapku. Semuanya sedang sibuk dengan topiknya masing-masing. “Ada apa?” tanya Anita, heran. “Tidak. Bukan apa-apa.” jawabku, melanjutkan perjalanan ke kantin. Anita terlihat bingung menatap ke belakang, namun ia pun mengikutiku dari belakang. Tanpa aku sadari memang ada yang mengikutiku.
Saat di kantin, kami pun memesan makanan seperti biasanya. Aku nasgor gak pake moto dan Anita sop ayam tanpa tomat. Dan minumannya aku jus jambu dan Anita lemon tea. Dan perasaan itu muncul lagi! Seperti ada yang memata-mataiku. Entahlah, tapi ini sangat mengganggu. “Dari tadi kelihatannya kau terlihat was-was, Tan.” Kata Anita, yang menyadari sikapku. “Ah, tidak juga. An, jika haidnya sudah selesai, mandi besarnya harus pakai bunga-bunga, ya?” balasku. “Hah? Denger dari siapa, tu? Rumor itu.” Jawab Anita, menyendok satu suapan. Aku pun mengangguk-angguk mengerti. “Jadi hanya membersihkan kulit dari debu, lalu berniat, lalu berwudhu, yang terakhir mandi. Iya, kan?” tanyaku, memastikan. “Nyem… itu tahu. Mudah bukan?” jawab Anita, setelah menelan satu suap.
“Ah, kebiasaan nih. Anita, aku ke belakang dahulu, ya.” Kataku, pamit ke belakang. “Selalu begini.” Balas Anita menatapku dengan kecewa. “Maaf… kebiasaan yang tidak bisa diubah sih. Nih uang yang harus aku bayar. Thanks ya. Mmuuaaahhh… aku sayang kamu.” Kataku, mencubit pipi Anita. Kemudian aku pun langsung pergi ke toilet.
Saat aku keluar dari toilet, aku melihat Hoshikuzu menunggu seseorang di luar toilet. Cukup terkejut, namun aku pun melangkahkan kakiku pergi melawatinya. “Apa kau sungguh melupakanku?” mendengar pertanyaan itu, langkahku terhenti. “Subhkaa namanlaa yanaa muwalaa yashuu. Maha suci Allah yang tidak pernah tidur dan tidak pernah lupa. Aku bukan Tuhan yang bisa selalu mengingat hal-hal yang tidak penting.” Balasku, tanpa menoleh. Aku pun langsung meninggalkannya. “Begitu…” lirih Hoshikuzu.
*** *** *** 

Rabu, 27 Maret 2013

INGATAN YANG KEMBALI 2

Ini masih mau membacanya????  Silahkan.... Ada bagian yang aku sensor, karena aku tidak ingin memakai merk, jadi tolong dimaafkan, ya... Gomawo...


POTONGAN RAMBUT (Jum’at)


Assalamu’alaikum semua… hahaha… pagi-pagi sudah menyebar salam di saat rambut acak-acakan dan air liur masih menempel di pipi. Eh, tapi bukan aku, aku membicarakan kalian yang bangun tidur. Eh, ini namanya pemfitnahan, ya? Padahal aku tidak tahu kalian. Ah, sudahlah, langsung ke dalam hidupku saja.
Pagi buta aku bangun karena mendengar suara adzan. Aku menuruni tangga, dan saat aku berdiri di  dapur, aku melihat Paman selesai mengambil air wudhu. Aku tersenyum jahil, dan tanpa disadari Paman, aku menyentuh bahunya, “Batal!!!!” Paman pun membalikkan tubuhnya, menempelkan kedua giginya dengan sangat kuat. “TA… NI… A!!!!” seru Paman kesal. Aku hanya menyengir tak berdosa. “Kau… bisa tidak untuk kali ini tidak jahi!?” tanya Paman. Sepertinya mood Paman sedang buruk. “Hehehe… Piece…” balasku, mengacungkan jari telunjuk dan tengah membentuk huruf v. “Habis Paman shalat, Paman mau melihatmu hafalan. Sudah hafal An-Nur?” tanya Paman, membuatku mengingat hal itu. Astaghfirullah… gawat, gawat, gawat! Aku lupa! “Ah, Paman, waktu Shalat Subuh hampir habis. Wudhu lagi dulu, sana!” balasku, langsung kabur. Hehehe… kasihan sekali Paman.
Akhirnya saat Paman selesai shalat, aku langsung berlari ke kamar mandi untuk mandi. Hehehe… lagi-lagi aku jadi anak bandel. Setelah mandi dan siap untuk sarapan, aku tercengang karena di atas meja hanya terlihat Al-Qur’an saja. “Sudah puas menghindari hafalan?” tanya Paman. “Hehehe… Paman, aku baru hafal 10 ayat… tidak mungkin aku  hafal semuanya.” Keluhku. “Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini.” Kata Paman. “Iya, I know that. Tapi… hah… bagaimana jika isinya saja?” tanyaku, menawarkan. “Ya sudahlah. Cobalah.” Jawab Paman, menyetujuinya. “Ah, Paman, sejujurnya hanya sebagian yang aku tahu, Paman.” Kataku, melebarkan senyum, tanpa mata senang. Paman hanya memukul jidatnya.
Akhirnya Paman membiarkanku sarapan dan berangkat sekolah dengan bebas. Hehehe… merasa bersalah sih, tapi bagaimana lagi, namanya juga manusia. Di sekolah, aku bertemu dengan Anita di koridor ketika aku akan ke kelas. Entah kenapa, dia terus menggaruk kepalanya yang berjilabab hijau itu. “Assalamu’alaikum…” sapa Anita, tampak serius mengukur rambutnya. “Wa’alaikumussalam. Kenapa dengan kepalamu?” balasku, heran dengan tingkahnya. “Ssst… jangan bilang kesiapa-siapa, ya. Kemarin aku lupa keramas, jadilah gatal. Menyebalkan sekali punya rambut kepanjangan.” Jawab Anita, mendesah kesal. “Owh…” balasku singkat. Kami pun berjalan memasuki kelas bersama. “Ah, benar juga! Pulang sekolah kau ada acara, Tan?” tanya Anita setelah ia meletakkan tasnya di bangku. “Tidak. Ada apa?” jawabku, tak mengerti. “Alahmdulillah… pulsek anter aku ke salon khusus wanita, ya! Kau kan yang suka potong rambut.” Balas Anita. Aku anggukkan kepalaku mengerti, “Baiklah.”
Pelajaran pun dimulai. Aku menulis segalanya yang penting yang sedang dibicarakan Pak Guru yang asyik sendiri menyelotehkan pelajaran kimia yang sungguh membuat kepala mual dan perut pusing. Ah… sebenarnya bahasa itu dilarang dibicarakan, tapi kalimat itu terdengar asyik, bukan? Dunia memang sudah gila! Semua yang salah dianggap benar, dan yang benar dianggap salah. Haah… sudahlah, kita selesaikan sampai di sini celotehan hatiku ini.
“Sekarang itu hari apa sih, An?” tanyaku, setelah aku teringat bahwa ada yang ingin kupastikan. “Jangan tanya yang aneh deh, Tan.” Balas Anita yang fokus pada Pak Guru yang sedang mengajar. “Ah, benar juga! Sudah kuduga! An, sepertinya hari ini kita tidak bisa ke salon itu deh. Selain salon itu, maaf saja ya, aku tidak tahu.” Kataku setelah kupikirkan bahwa hari ini hari Sabtu. “Ah, iya! Hari Sabtu, ya… aduh, tapi rambut panjang ini menggangguku!” keluh Anita, membuat dirinya menjadi pusat perhatian. “Mmm… sebenarnya saat aku tidak punya uang, selalu potong dengan pamanku, yah lumayan juga, sih. Bagaimana?” tanyaku meminta pendapatnya. “Haaa-aah! Aku tidak peduli yang penting rambutku gak terlalu ganggu.” Jawab Anita, menggaruk rambutnya sambil mencatat apa yang dibicarakan oleh Pak Guru.
Sore hari setelah pulang sekolah, kami pun menuju rumahku menunggu paman pulang. Sambil menunggu Paman pulang, aku pun mandi kemudian bergantian dengan Anita. Kami melanjutkan penantian paman dengan… mungkin menurut kalian ini membosankan, tapi jika pelajaran itu pelajaran yang paling kita sukai, itu akan terasa mengasyikkan.
Adzan Maghrib pun bekumandang, saat itu juga suara mobil Paman terdengar. Aku pun turun ke bawah membuka gerbang, diikuti oleh Anita. “Assalamu’alaikum…” sapa Paman, mengulurkan tangannya dan aku cium tangannya. “Wa’alaikumussalam… Paman, Anita datang.” Kataku, mendekatkan Anita ke jendela mobil. “Owh… Anita…” kata Paman. Kemudian Paman pun memasukkan mobilnya ke dalam garasi. Aku menyuruh Anita untuk naik ke atas dan aku katakan maksud dari kedatangan Anita. “Eh, tapi jika begitu, auratnya…” balas Paman ketika mendengar penjelasanku tadi. “Bagaimana lagi…” keluhku bingung. Paman terlihat berfikir ketika aku kesusahan. Ah, di mataku paman ini keren banget. Lelaki idamanku. Sayangnya dia pamanku. Ah, syukuri apa yang ada! Masyaallah… maaf.
“Apa tidak ada cara lain?” tanya Paman. Aku menggeleng kepala. “Baiklah. Siapkan seperti biasa, ya.” Kata Paman, setelah memutuskan. “Baiklah! Malam ini makannya hanya roti pandan. Untuk Anita juga sudah aku siapkan.” Balasku, melaporkan hal yang tidak penting. Paman hanya tersenyum melihat kepergianku.
Paman siap dengan gunting dan perlengkapan lainnya. Tinggal menunggu Anita yang sedang… entahlah, kenapa dia lama sekali? Aku pun menjemputnya ke atas. Tapi, belum sampai di kamarku, aku melihatnya bersembunyi di balik tembok. “Ada apa?” tanyaku tak mengerti. “Pamanmu selalu tampan ya, Tan.” Jawab Anita dengan pipi merahnya. “Mmm… iya juga sih. Ah, tapi jadi tidak nih? Paman selak lapar, lho.” Balasku, membenarkan perkataannya. “Haah… baiklah. Semoga jantungku tidak terdengar sampai ke telinga pamanmu, ya.” Kata Anita. Aku tidak menanggapi perkataannya itu.
“Mau model seperti apa?” tanya Paman saat ia melihat kedatangan Anita. Wajah Anita pun memerah. Rasanya saat melihat wajah malu Anita membuat perutku tertawa. “Ngghh… yang tidak menyerupai laki-laki yang pasti.” Mendengar itu, entah kenapa Paman memalingkan wajahnya untuk tertawa. “Eh…” kata Anita tak mengerti. “Ah, bukan apa-apa. Ayo mulai.” Paman mulai memotong rambut Anita. Entah kenapa, setiap pergerakan paman, membuat pipi Anita merona. Itu membuat perutku sakit saking susahnya untuk menahan tawa. Ya ampun… itu seperti bukan Anita banget!
“Shampo Anita merk apa?” tanya Paman di tengah pekerjaannya. “Ah, shampoo *** *** *** .” jawab Anita. “Begitu. Shamponya memang wangi, tapi tidak cocok untuk tipe rambut seperti milik Anita. Coba cari shampoo lain seperti *** *** ***.” Kata Paman menyarankan. “Ah, baiklah!” jawab Anita mantap. Paman pun tertawa kecil mendengar jawaban Anita.
*** *** *** 

INGATAN YANG KEMBALI 1

Apa kalian tahu, aku berdoa kepada Tuhan agar kalian menyukai cerita ini, karena cerita ini sungguh-sungguh aneh. Tapi anehnya aku paling menyukai cerita ini. Yah, meski malu melihatkannya, silahkan dinikmati....

AWAL KEDEWASAAN (Kamis)


                Yang pertama ku alami saat itu. Saat malaikat bertamu ke rumahku, memberitahu tibanya kedewasaanku. Saat itu aku belum tahu. Hanya karena sakit perut, membuat orang kesakitan yang berlanjut. Pagi-pagi sekali, aku entah  kenapa perutku terasa dihantam oleh moil dengan kecepatan tinggi. Rasanya tidak mungkin untuk aku masuk sekolah, namun aku berusaha untuk tidak mengeluh saat melihat Paman yang sudah susah payah membuat sarapan dan membawakanku bekal. Akhirnya aku pun masuk sekolah bersama rasa sakit yang makin parah. Dan seperti yang sudah aku tebak, saat pelajaran pertama, wajahku pucat. Namun yang menyadari itu hanya teman sebangkuku, sahabat kecilku yang selalu setia menemani kisah hidupku, Anita. “Kau baik-baik saja, Tania?” tanya Anita, terlihat mengkhawatirkanku. “Entahlah. Aku tak mengerti, An. Jangan bilang siapa-siapa, ya. Sebenarnya, rasanya seperti pipis di celana, An. Tapi sayangnya aku tidak merasa ada air di celanaku.” Jawabku, mendekatkan mulutku pada daun telinga Anita. “Eh… Jangan bilang kau belum pernah dapet.” Balas Anita, menatapku tak percaya. “Auh… jika maksudmu datang bulan, pastilah jawabannya ya.” Jawabku, menahan rasa sakit perutku ini. “Gawat! ! ! ! Kau sudah pake, kan? ” tanya Anita. Aku hanya menahan rasa sakitku, tak menjawabnya sama sekali. Namun kelihatannya dia mengerti tentang diriku tanpa aku katakan sekalipun. “Gila, merepotkan sekali kau ini.” Keluh Anita, beranjak dari tempatnya. Ia pun minta ijin pada guru untuk ke kamar mandi. Yah, aku mengerti akan kebaikannya.
Aduh… gawat… memangnya sesakit ini, ya? Astaghfirullah… Tuhanku… God… manteb deh sakitnya. Untungnya aku duduk di belakang, jika tidak mungkin akan terlihat lebih parah dari ini. Dan semua orang bisa membuatku malu. Alhamdulillah… A, ah…
Tak lama, Anita pun datang tepat bel istirahat berdering. “Sebaiknya kau pulang. Biar aku antar.” Katanya, seraya mengeluarkan sesuatu berbentuk kotak berwarna putih. “Eh, bukankah ini… kan belum tentu aku…” kataku, diputus oleh telunjuk Anita, “Sssttt… coba berdiri.” Aku pun mengikuti perintahnya. Dan, oh, God! ! ! ! Bendera Jepang berkibar di pantatku! Aaargghh… Masyaallah… aku pun langsung menutup bendera Jepang itu dengan cepat. “Bagaimana?” tanya Anita, meminta pendapatku. “Aku tidak bisa membantah perkataanmu. Tapi, bagaiaman denganmu nanti?” jawabku, pasrah. “Tenang saja. Jangan pikirkan yang lain.” Balas Anita, membulatkan telunjuk dan jempolnya. “Terimakasih.” Kataku, melingkarkan jaket pada pinggulku.
Akhirnya aku bersama sahabat kecilku ini pulang ke rumahku setelah diijinkan oleh guru BK. Karena di rumah ini hanya ada aku dan Pamanku, jadi rumah yang cukup besar ini terasa sangat sepi. Apalagi di pagi ini yang paman pasti sedang pergi bekerja. Kemudian, Anita pun mengajariku banyak hal tentang ini-itu. Yah, meski terkadang hal ini-itu sedikit memalukan. Yah, biasalah, namanya juga tentang menuju kedewasaan.
Setelah matahari terbenam, barulah Anita pulang. Aku sungguh-sungguh berterimakasih padanya. Sungguh-sungguh bersyukur pada Allah karena memiliki teman, sungguh, teman yang baik hati! Ugh, nyaris banget air mataku mengalir di pipiku saat Anita akan pergi. Hahaha… memang berlebihan diriku, namun lihatlah, ini sudah sore, lho! Dia membantuku dari jam 10 pagi hingga 5 sore, siapa juga yang tidak tersentuh?
Adzan maghrib pun berlalu. Rasanya aneh jika tidak mengerjakan shalat. Tapi jika kali ini aku shalat, sudah dipastikan aku berdosa. Suara mobil pun terdengar di telingaku. Dengan cepat aku menyusuri tangga menuju gerbang rumah dan membuka gerbang itu. “Assalammu’alaikum…” sapa Pamanku dari dalam mobil. Aku pun menjawab salamnya. “Wa’alaikumussalam. Paman sudah pulang? Malam ini dinnernya cuma udang goreng. Tidak apa-apa?” Paman hanya tersenyum dan memasukkan mobilnya ke dalam garasi. Aku menutup gerbang. Paman pun membuka mobil dan menyuruhku datang mendekat. “Apa menurutmu pamanmu ini seperti orang yang tidak pernah bersyukur? Sudahlah, ayo, ambil air wudhu dan ke masjid.” Kata Paman, merangkul bahuku. Wajahku pun langsung memerah. Aku melepas rangkulan pamanku.
“Ada apa?” tanya Paman tak mengerti. Aku menggaruk kepalaku yang sama sekali tidak gatal. Kemudian aku memegang perutku, menatapnya. Sepertinya Paman mengerti apa yang aku maksud, buktinya wajah Paman memerah. “Hahaha… begitu… berarti Paman ke masjid sendiri, nih? Yah… gak asyik, nih!” kata Paman, merangkulku kembali menuju ke ruang keluarga. “Tidak apa-apa nih, di rumah sendiri?” tanya Paman, terlihat khawatir. “Paman jangan khawatir. Aku sudah SMA. Udah mau lulus bahkan. Paman don’t afraid.” Jawabku, menenangkan hati Paman. “Karena dari itu, kamu sudah beranjak dewasa, Paman jadi sedikit khawatir.” Balas Paman, mengelus kepalaku. “Masyaallah… cuma mau ke masjid saja di dramatisir, sih!? Sudahlah, Paman, cepat ke masjid, adzan telah berkumandang sedari tadi.” Balasku, mendorong paman masuk ke dalam kamarnya.
‘Dewasa, ya…’ gumamku, menuju kamar. Benar juga, aku sungguh-sungguh beranjak dewasa. Mama, Papa, anakmu sudah berkembang. Tuhan, semakin aku berkembang, kumohon, jangan jerumuskan aku pada jalan kesesatan dan jalan kegelapan. 
*** *** *** 

Rabu, 30 Januari 2013

APA INI CEMBURU


Sesak, sakit terasa di tubuh ini
Jantung berdetak lebih cepat dari biasanya
Tenggorokkan terasa tercekik sangat kuat
Penglihatan dan pendengaran berkurang karena amarah yang memuncak

Melihat dirimu jauh dari sisiku
Melihat dirimu dekat dengan lelaki lain
Melihat senyummu bersama orang lain
Melihat wajah manismu bersanding dengan yang lain

Memukul hati ini
Hasrat membunuh pun muncul
Hilang rasa apa pun, yang tertinggal hanya amarah
Otakku mulai memperkerjakan tanganku

Senyummu seola-olah hilang entah kemana
Pada akhirnya aku hanyalah si pembuat onar
Yang membuat dirimu dipermalukan
Membuat dirimu kecewa padaku

FIGHTING!

cinta

Tdk ada yg slah dgn cinta.
Dan, cinta itu butuh perjuangan, tanggung jawab, kepercayaan, dan kasih sayang.
Cinta bkan hanya kpada lwan jnisnya.
Cinta toe putih tp jg htam
Cinta tu mniz n terkdank pahit
Cinta tu indah tp menyakitkan
Cinta tu dtang lalu pergi
Cinta tu bingung, tp slalu pazti
Satu kata kunci yang pasti
Cinta itu tergantung orang yang merasakannya


Jujur saja, aku tak tahu apa itu cinta lawan jenis
Apa harus cinta itu berpacaran?
Tapi, aku tahu tentang cinta pada sahabat!
Fighting!