Rabu, 27 Maret 2013

INGATAN YANG KEMBALI 2

Ini masih mau membacanya????  Silahkan.... Ada bagian yang aku sensor, karena aku tidak ingin memakai merk, jadi tolong dimaafkan, ya... Gomawo...


POTONGAN RAMBUT (Jum’at)


Assalamu’alaikum semua… hahaha… pagi-pagi sudah menyebar salam di saat rambut acak-acakan dan air liur masih menempel di pipi. Eh, tapi bukan aku, aku membicarakan kalian yang bangun tidur. Eh, ini namanya pemfitnahan, ya? Padahal aku tidak tahu kalian. Ah, sudahlah, langsung ke dalam hidupku saja.
Pagi buta aku bangun karena mendengar suara adzan. Aku menuruni tangga, dan saat aku berdiri di  dapur, aku melihat Paman selesai mengambil air wudhu. Aku tersenyum jahil, dan tanpa disadari Paman, aku menyentuh bahunya, “Batal!!!!” Paman pun membalikkan tubuhnya, menempelkan kedua giginya dengan sangat kuat. “TA… NI… A!!!!” seru Paman kesal. Aku hanya menyengir tak berdosa. “Kau… bisa tidak untuk kali ini tidak jahi!?” tanya Paman. Sepertinya mood Paman sedang buruk. “Hehehe… Piece…” balasku, mengacungkan jari telunjuk dan tengah membentuk huruf v. “Habis Paman shalat, Paman mau melihatmu hafalan. Sudah hafal An-Nur?” tanya Paman, membuatku mengingat hal itu. Astaghfirullah… gawat, gawat, gawat! Aku lupa! “Ah, Paman, waktu Shalat Subuh hampir habis. Wudhu lagi dulu, sana!” balasku, langsung kabur. Hehehe… kasihan sekali Paman.
Akhirnya saat Paman selesai shalat, aku langsung berlari ke kamar mandi untuk mandi. Hehehe… lagi-lagi aku jadi anak bandel. Setelah mandi dan siap untuk sarapan, aku tercengang karena di atas meja hanya terlihat Al-Qur’an saja. “Sudah puas menghindari hafalan?” tanya Paman. “Hehehe… Paman, aku baru hafal 10 ayat… tidak mungkin aku  hafal semuanya.” Keluhku. “Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini.” Kata Paman. “Iya, I know that. Tapi… hah… bagaimana jika isinya saja?” tanyaku, menawarkan. “Ya sudahlah. Cobalah.” Jawab Paman, menyetujuinya. “Ah, Paman, sejujurnya hanya sebagian yang aku tahu, Paman.” Kataku, melebarkan senyum, tanpa mata senang. Paman hanya memukul jidatnya.
Akhirnya Paman membiarkanku sarapan dan berangkat sekolah dengan bebas. Hehehe… merasa bersalah sih, tapi bagaimana lagi, namanya juga manusia. Di sekolah, aku bertemu dengan Anita di koridor ketika aku akan ke kelas. Entah kenapa, dia terus menggaruk kepalanya yang berjilabab hijau itu. “Assalamu’alaikum…” sapa Anita, tampak serius mengukur rambutnya. “Wa’alaikumussalam. Kenapa dengan kepalamu?” balasku, heran dengan tingkahnya. “Ssst… jangan bilang kesiapa-siapa, ya. Kemarin aku lupa keramas, jadilah gatal. Menyebalkan sekali punya rambut kepanjangan.” Jawab Anita, mendesah kesal. “Owh…” balasku singkat. Kami pun berjalan memasuki kelas bersama. “Ah, benar juga! Pulang sekolah kau ada acara, Tan?” tanya Anita setelah ia meletakkan tasnya di bangku. “Tidak. Ada apa?” jawabku, tak mengerti. “Alahmdulillah… pulsek anter aku ke salon khusus wanita, ya! Kau kan yang suka potong rambut.” Balas Anita. Aku anggukkan kepalaku mengerti, “Baiklah.”
Pelajaran pun dimulai. Aku menulis segalanya yang penting yang sedang dibicarakan Pak Guru yang asyik sendiri menyelotehkan pelajaran kimia yang sungguh membuat kepala mual dan perut pusing. Ah… sebenarnya bahasa itu dilarang dibicarakan, tapi kalimat itu terdengar asyik, bukan? Dunia memang sudah gila! Semua yang salah dianggap benar, dan yang benar dianggap salah. Haah… sudahlah, kita selesaikan sampai di sini celotehan hatiku ini.
“Sekarang itu hari apa sih, An?” tanyaku, setelah aku teringat bahwa ada yang ingin kupastikan. “Jangan tanya yang aneh deh, Tan.” Balas Anita yang fokus pada Pak Guru yang sedang mengajar. “Ah, benar juga! Sudah kuduga! An, sepertinya hari ini kita tidak bisa ke salon itu deh. Selain salon itu, maaf saja ya, aku tidak tahu.” Kataku setelah kupikirkan bahwa hari ini hari Sabtu. “Ah, iya! Hari Sabtu, ya… aduh, tapi rambut panjang ini menggangguku!” keluh Anita, membuat dirinya menjadi pusat perhatian. “Mmm… sebenarnya saat aku tidak punya uang, selalu potong dengan pamanku, yah lumayan juga, sih. Bagaimana?” tanyaku meminta pendapatnya. “Haaa-aah! Aku tidak peduli yang penting rambutku gak terlalu ganggu.” Jawab Anita, menggaruk rambutnya sambil mencatat apa yang dibicarakan oleh Pak Guru.
Sore hari setelah pulang sekolah, kami pun menuju rumahku menunggu paman pulang. Sambil menunggu Paman pulang, aku pun mandi kemudian bergantian dengan Anita. Kami melanjutkan penantian paman dengan… mungkin menurut kalian ini membosankan, tapi jika pelajaran itu pelajaran yang paling kita sukai, itu akan terasa mengasyikkan.
Adzan Maghrib pun bekumandang, saat itu juga suara mobil Paman terdengar. Aku pun turun ke bawah membuka gerbang, diikuti oleh Anita. “Assalamu’alaikum…” sapa Paman, mengulurkan tangannya dan aku cium tangannya. “Wa’alaikumussalam… Paman, Anita datang.” Kataku, mendekatkan Anita ke jendela mobil. “Owh… Anita…” kata Paman. Kemudian Paman pun memasukkan mobilnya ke dalam garasi. Aku menyuruh Anita untuk naik ke atas dan aku katakan maksud dari kedatangan Anita. “Eh, tapi jika begitu, auratnya…” balas Paman ketika mendengar penjelasanku tadi. “Bagaimana lagi…” keluhku bingung. Paman terlihat berfikir ketika aku kesusahan. Ah, di mataku paman ini keren banget. Lelaki idamanku. Sayangnya dia pamanku. Ah, syukuri apa yang ada! Masyaallah… maaf.
“Apa tidak ada cara lain?” tanya Paman. Aku menggeleng kepala. “Baiklah. Siapkan seperti biasa, ya.” Kata Paman, setelah memutuskan. “Baiklah! Malam ini makannya hanya roti pandan. Untuk Anita juga sudah aku siapkan.” Balasku, melaporkan hal yang tidak penting. Paman hanya tersenyum melihat kepergianku.
Paman siap dengan gunting dan perlengkapan lainnya. Tinggal menunggu Anita yang sedang… entahlah, kenapa dia lama sekali? Aku pun menjemputnya ke atas. Tapi, belum sampai di kamarku, aku melihatnya bersembunyi di balik tembok. “Ada apa?” tanyaku tak mengerti. “Pamanmu selalu tampan ya, Tan.” Jawab Anita dengan pipi merahnya. “Mmm… iya juga sih. Ah, tapi jadi tidak nih? Paman selak lapar, lho.” Balasku, membenarkan perkataannya. “Haah… baiklah. Semoga jantungku tidak terdengar sampai ke telinga pamanmu, ya.” Kata Anita. Aku tidak menanggapi perkataannya itu.
“Mau model seperti apa?” tanya Paman saat ia melihat kedatangan Anita. Wajah Anita pun memerah. Rasanya saat melihat wajah malu Anita membuat perutku tertawa. “Ngghh… yang tidak menyerupai laki-laki yang pasti.” Mendengar itu, entah kenapa Paman memalingkan wajahnya untuk tertawa. “Eh…” kata Anita tak mengerti. “Ah, bukan apa-apa. Ayo mulai.” Paman mulai memotong rambut Anita. Entah kenapa, setiap pergerakan paman, membuat pipi Anita merona. Itu membuat perutku sakit saking susahnya untuk menahan tawa. Ya ampun… itu seperti bukan Anita banget!
“Shampo Anita merk apa?” tanya Paman di tengah pekerjaannya. “Ah, shampoo *** *** *** .” jawab Anita. “Begitu. Shamponya memang wangi, tapi tidak cocok untuk tipe rambut seperti milik Anita. Coba cari shampoo lain seperti *** *** ***.” Kata Paman menyarankan. “Ah, baiklah!” jawab Anita mantap. Paman pun tertawa kecil mendengar jawaban Anita.
*** *** *** 

Tidak ada komentar :

Posting Komentar