POTONGAN RAMBUT (Jum’at)
Assalamu’alaikum semua… hahaha…
pagi-pagi sudah menyebar salam di saat rambut acak-acakan dan air liur masih
menempel di pipi. Eh, tapi bukan aku, aku membicarakan kalian yang bangun
tidur. Eh, ini namanya pemfitnahan, ya? Padahal aku tidak tahu kalian. Ah,
sudahlah, langsung ke dalam hidupku saja.
Pagi buta aku bangun karena mendengar
suara adzan. Aku menuruni tangga, dan saat aku berdiri di dapur, aku melihat Paman selesai mengambil
air wudhu. Aku tersenyum jahil, dan tanpa disadari Paman, aku menyentuh bahunya,
“Batal!!!!” Paman pun membalikkan tubuhnya, menempelkan kedua giginya dengan
sangat kuat. “TA… NI… A!!!!” seru Paman kesal. Aku hanya menyengir tak berdosa.
“Kau… bisa tidak untuk kali ini tidak jahi!?” tanya Paman. Sepertinya mood
Paman sedang buruk. “Hehehe… Piece…” balasku, mengacungkan jari telunjuk dan
tengah membentuk huruf v. “Habis Paman shalat, Paman mau melihatmu hafalan.
Sudah hafal An-Nur?” tanya Paman, membuatku mengingat hal itu. Astaghfirullah…
gawat, gawat, gawat! Aku lupa! “Ah, Paman, waktu Shalat Subuh hampir habis.
Wudhu lagi dulu, sana!” balasku, langsung kabur. Hehehe… kasihan sekali Paman.
Akhirnya saat Paman selesai shalat,
aku langsung berlari ke kamar mandi untuk mandi. Hehehe… lagi-lagi aku jadi
anak bandel. Setelah mandi dan siap untuk sarapan, aku tercengang karena di
atas meja hanya terlihat Al-Qur’an saja. “Sudah puas menghindari hafalan?”
tanya Paman. “Hehehe… Paman, aku baru hafal 10 ayat… tidak mungkin aku hafal semuanya.” Keluhku. “Tidak ada yang
tidak mungkin di dunia ini.” Kata Paman. “Iya, I know that. Tapi… hah…
bagaimana jika isinya saja?” tanyaku, menawarkan. “Ya sudahlah. Cobalah.” Jawab
Paman, menyetujuinya. “Ah, Paman, sejujurnya hanya sebagian yang aku tahu,
Paman.” Kataku, melebarkan senyum, tanpa mata senang. Paman hanya memukul
jidatnya.
Akhirnya Paman membiarkanku sarapan
dan berangkat sekolah dengan bebas. Hehehe… merasa bersalah sih, tapi bagaimana
lagi, namanya juga manusia. Di sekolah, aku bertemu dengan Anita di koridor
ketika aku akan ke kelas. Entah kenapa, dia terus menggaruk kepalanya yang
berjilabab hijau itu. “Assalamu’alaikum…” sapa Anita, tampak serius mengukur
rambutnya. “Wa’alaikumussalam. Kenapa dengan kepalamu?” balasku, heran dengan
tingkahnya. “Ssst… jangan bilang kesiapa-siapa, ya. Kemarin aku lupa keramas,
jadilah gatal. Menyebalkan sekali punya rambut kepanjangan.” Jawab Anita,
mendesah kesal. “Owh…” balasku singkat. Kami pun berjalan memasuki kelas
bersama. “Ah, benar juga! Pulang sekolah kau ada acara, Tan?” tanya Anita
setelah ia meletakkan tasnya di bangku. “Tidak. Ada apa?” jawabku, tak
mengerti. “Alahmdulillah… pulsek anter aku ke salon khusus wanita, ya! Kau kan
yang suka potong rambut.” Balas Anita. Aku anggukkan kepalaku mengerti,
“Baiklah.”
Pelajaran pun dimulai. Aku menulis
segalanya yang penting yang sedang dibicarakan Pak Guru yang asyik sendiri
menyelotehkan pelajaran kimia yang sungguh membuat kepala mual dan perut
pusing. Ah… sebenarnya bahasa itu dilarang dibicarakan, tapi kalimat itu
terdengar asyik, bukan? Dunia memang sudah gila! Semua yang salah dianggap benar,
dan yang benar dianggap salah. Haah… sudahlah, kita selesaikan sampai di sini
celotehan hatiku ini.
“Sekarang itu hari apa sih, An?”
tanyaku, setelah aku teringat bahwa ada yang ingin kupastikan. “Jangan tanya
yang aneh deh, Tan.” Balas Anita yang fokus pada Pak Guru yang sedang mengajar.
“Ah, benar juga! Sudah kuduga! An, sepertinya hari ini kita tidak bisa ke salon
itu deh. Selain salon itu, maaf saja ya, aku tidak tahu.” Kataku setelah
kupikirkan bahwa hari ini hari Sabtu. “Ah, iya! Hari Sabtu, ya… aduh, tapi
rambut panjang ini menggangguku!” keluh Anita, membuat dirinya menjadi pusat
perhatian. “Mmm… sebenarnya saat aku tidak punya uang, selalu potong dengan
pamanku, yah lumayan juga, sih. Bagaimana?” tanyaku meminta pendapatnya.
“Haaa-aah! Aku tidak peduli yang penting rambutku gak terlalu ganggu.” Jawab
Anita, menggaruk rambutnya sambil mencatat apa yang dibicarakan oleh Pak Guru.
Sore hari setelah pulang sekolah,
kami pun menuju rumahku menunggu paman pulang. Sambil menunggu Paman pulang,
aku pun mandi kemudian bergantian dengan Anita. Kami melanjutkan penantian
paman dengan… mungkin menurut kalian ini membosankan, tapi jika pelajaran itu
pelajaran yang paling kita sukai, itu akan terasa mengasyikkan.
Adzan Maghrib pun bekumandang, saat
itu juga suara mobil Paman terdengar. Aku pun turun ke bawah membuka gerbang,
diikuti oleh Anita. “Assalamu’alaikum…” sapa Paman, mengulurkan tangannya dan
aku cium tangannya. “Wa’alaikumussalam… Paman, Anita datang.” Kataku,
mendekatkan Anita ke jendela mobil. “Owh… Anita…” kata Paman. Kemudian Paman
pun memasukkan mobilnya ke dalam garasi. Aku menyuruh Anita untuk naik ke atas
dan aku katakan maksud dari kedatangan Anita. “Eh, tapi jika begitu, auratnya…”
balas Paman ketika mendengar penjelasanku tadi. “Bagaimana lagi…” keluhku
bingung. Paman terlihat berfikir ketika aku kesusahan. Ah, di mataku paman ini
keren banget. Lelaki idamanku. Sayangnya dia pamanku. Ah, syukuri apa yang ada!
Masyaallah… maaf.
“Apa tidak ada cara lain?” tanya
Paman. Aku menggeleng kepala. “Baiklah. Siapkan seperti biasa, ya.” Kata Paman,
setelah memutuskan. “Baiklah! Malam ini makannya hanya roti pandan. Untuk Anita
juga sudah aku siapkan.” Balasku, melaporkan hal yang tidak penting. Paman
hanya tersenyum melihat kepergianku.
Paman siap dengan gunting dan
perlengkapan lainnya. Tinggal menunggu Anita yang sedang… entahlah, kenapa dia
lama sekali? Aku pun menjemputnya ke atas. Tapi, belum sampai di kamarku, aku
melihatnya bersembunyi di balik tembok. “Ada apa?” tanyaku tak mengerti.
“Pamanmu selalu tampan ya, Tan.” Jawab Anita dengan pipi merahnya. “Mmm… iya
juga sih. Ah, tapi jadi tidak nih? Paman selak lapar, lho.” Balasku,
membenarkan perkataannya. “Haah… baiklah. Semoga jantungku tidak terdengar
sampai ke telinga pamanmu, ya.” Kata Anita. Aku tidak menanggapi perkataannya
itu.
“Mau model seperti apa?” tanya
Paman saat ia melihat kedatangan Anita. Wajah Anita pun memerah. Rasanya saat
melihat wajah malu Anita membuat perutku tertawa. “Ngghh… yang tidak menyerupai
laki-laki yang pasti.” Mendengar itu, entah kenapa Paman memalingkan wajahnya
untuk tertawa. “Eh…” kata Anita tak mengerti. “Ah, bukan apa-apa. Ayo mulai.” Paman
mulai memotong rambut Anita. Entah kenapa, setiap pergerakan paman, membuat
pipi Anita merona. Itu membuat perutku sakit saking susahnya untuk menahan
tawa. Ya ampun… itu seperti bukan Anita banget!
“Shampo Anita merk apa?” tanya
Paman di tengah pekerjaannya. “Ah, shampoo *** *** *** .” jawab Anita. “Begitu.
Shamponya memang wangi, tapi tidak cocok untuk tipe rambut seperti milik Anita.
Coba cari shampoo lain seperti *** *** ***.” Kata Paman menyarankan. “Ah,
baiklah!” jawab Anita mantap. Paman pun tertawa kecil mendengar jawaban Anita.
***
*** ***
Tidak ada komentar :
Posting Komentar