AWAL KEDEWASAAN (Kamis)
Yang
pertama ku alami saat itu. Saat malaikat bertamu ke rumahku, memberitahu
tibanya kedewasaanku. Saat itu aku belum tahu. Hanya karena sakit perut,
membuat orang kesakitan yang berlanjut. Pagi-pagi sekali, aku entah kenapa perutku terasa dihantam oleh moil
dengan kecepatan tinggi. Rasanya tidak mungkin untuk aku masuk sekolah, namun
aku berusaha untuk tidak mengeluh saat melihat Paman yang sudah susah payah
membuat sarapan dan membawakanku bekal. Akhirnya aku pun masuk sekolah bersama
rasa sakit yang makin parah. Dan seperti yang sudah aku tebak, saat pelajaran
pertama, wajahku pucat. Namun yang menyadari itu hanya teman sebangkuku, sahabat
kecilku yang selalu setia menemani kisah hidupku, Anita. “Kau baik-baik saja,
Tania?” tanya Anita, terlihat mengkhawatirkanku. “Entahlah. Aku tak mengerti,
An. Jangan bilang siapa-siapa, ya. Sebenarnya, rasanya seperti pipis di celana,
An. Tapi sayangnya aku tidak merasa ada air di celanaku.” Jawabku, mendekatkan
mulutku pada daun telinga Anita. “Eh… Jangan bilang kau belum pernah dapet.”
Balas Anita, menatapku tak percaya. “Auh… jika maksudmu datang bulan, pastilah
jawabannya ya.” Jawabku, menahan rasa sakit perutku ini. “Gawat! ! ! ! Kau
sudah pake, kan? ” tanya Anita. Aku hanya menahan rasa sakitku, tak menjawabnya
sama sekali. Namun kelihatannya dia mengerti tentang diriku tanpa aku katakan
sekalipun. “Gila, merepotkan sekali kau ini.” Keluh Anita, beranjak dari
tempatnya. Ia pun minta ijin pada guru untuk ke kamar mandi. Yah, aku mengerti
akan kebaikannya.
Aduh… gawat… memangnya sesakit ini,
ya? Astaghfirullah… Tuhanku… God… manteb deh sakitnya. Untungnya aku duduk di
belakang, jika tidak mungkin akan terlihat lebih parah dari ini. Dan semua
orang bisa membuatku malu. Alhamdulillah… A, ah…
Tak lama, Anita pun datang tepat
bel istirahat berdering. “Sebaiknya kau pulang. Biar aku antar.” Katanya,
seraya mengeluarkan sesuatu berbentuk kotak berwarna putih. “Eh, bukankah ini…
kan belum tentu aku…” kataku, diputus oleh telunjuk Anita, “Sssttt… coba
berdiri.” Aku pun mengikuti perintahnya. Dan, oh, God! ! ! ! Bendera Jepang
berkibar di pantatku! Aaargghh… Masyaallah… aku pun langsung menutup bendera
Jepang itu dengan cepat. “Bagaimana?” tanya Anita, meminta pendapatku. “Aku
tidak bisa membantah perkataanmu. Tapi, bagaiaman denganmu nanti?” jawabku,
pasrah. “Tenang saja. Jangan pikirkan yang lain.” Balas Anita, membulatkan
telunjuk dan jempolnya. “Terimakasih.” Kataku, melingkarkan jaket pada
pinggulku.
Akhirnya aku bersama sahabat
kecilku ini pulang ke rumahku setelah diijinkan oleh guru BK. Karena di rumah
ini hanya ada aku dan Pamanku, jadi rumah yang cukup besar ini terasa sangat
sepi. Apalagi di pagi ini yang paman pasti sedang pergi bekerja. Kemudian,
Anita pun mengajariku banyak hal tentang ini-itu. Yah, meski terkadang hal
ini-itu sedikit memalukan. Yah, biasalah, namanya juga tentang menuju
kedewasaan.
Setelah matahari terbenam, barulah
Anita pulang. Aku sungguh-sungguh berterimakasih padanya. Sungguh-sungguh
bersyukur pada Allah karena memiliki teman, sungguh, teman yang baik hati! Ugh,
nyaris banget air mataku mengalir di pipiku saat Anita akan pergi. Hahaha…
memang berlebihan diriku, namun lihatlah, ini sudah sore, lho! Dia membantuku
dari jam 10 pagi hingga 5 sore, siapa juga yang tidak tersentuh?
Adzan maghrib pun berlalu. Rasanya
aneh jika tidak mengerjakan shalat. Tapi jika kali ini aku shalat, sudah
dipastikan aku berdosa. Suara mobil pun terdengar di telingaku. Dengan cepat
aku menyusuri tangga menuju gerbang rumah dan membuka gerbang itu.
“Assalammu’alaikum…” sapa Pamanku dari dalam mobil. Aku pun menjawab salamnya.
“Wa’alaikumussalam. Paman sudah pulang? Malam ini dinnernya cuma udang goreng.
Tidak apa-apa?” Paman hanya tersenyum dan memasukkan mobilnya ke dalam garasi.
Aku menutup gerbang. Paman pun membuka mobil dan menyuruhku datang mendekat.
“Apa menurutmu pamanmu ini seperti orang yang tidak pernah bersyukur? Sudahlah,
ayo, ambil air wudhu dan ke masjid.” Kata Paman, merangkul bahuku. Wajahku pun
langsung memerah. Aku melepas rangkulan pamanku.
“Ada apa?” tanya Paman tak
mengerti. Aku menggaruk kepalaku yang sama sekali tidak gatal. Kemudian aku
memegang perutku, menatapnya. Sepertinya Paman mengerti apa yang aku maksud,
buktinya wajah Paman memerah. “Hahaha… begitu… berarti Paman ke masjid sendiri,
nih? Yah… gak asyik, nih!” kata Paman, merangkulku kembali menuju ke ruang
keluarga. “Tidak apa-apa nih, di rumah sendiri?” tanya Paman, terlihat
khawatir. “Paman jangan khawatir. Aku sudah SMA. Udah mau lulus bahkan. Paman
don’t afraid.” Jawabku, menenangkan hati Paman. “Karena dari itu, kamu sudah
beranjak dewasa, Paman jadi sedikit khawatir.” Balas Paman, mengelus kepalaku.
“Masyaallah… cuma mau ke masjid saja di dramatisir, sih!? Sudahlah, Paman,
cepat ke masjid, adzan telah berkumandang sedari tadi.” Balasku, mendorong
paman masuk ke dalam kamarnya.
‘Dewasa, ya…’ gumamku, menuju
kamar. Benar juga, aku sungguh-sungguh beranjak dewasa. Mama, Papa, anakmu
sudah berkembang. Tuhan, semakin aku berkembang, kumohon, jangan jerumuskan aku
pada jalan kesesatan dan jalan kegelapan.
***
*** ***
Tidak ada komentar :
Posting Komentar