JANGAN BUTA (Ahad)
Mmm… aku bingung harus mengawali
cerita pagi ini bagaimana. Kalian sudah tahu bukan kebiasaan pagiku? Yah, kalau
masih dalam masa haid, pagi-pagi begini kalau tidak menjahili Paman, mungkin
juga menyapu atau menyiapkan sarapan. Ah, benar juga, kalian tidak tahu ya,
jika di sini tidak memakai jasa pembantu? Semuanya sendiri. Kecuali mencuci dan
setrika. Jika ada waktu luang, barulah kami melakukannya sendiri. Dan kali ini
kalian bisa melihat kemesraan kami untuk hal itu. Di hari Ahad yang cerah ini,
kami akan mencuci bersama. “Semoga cuciannya cepat kering.” Mulailah kami
menjemur.
Tak lama kemudian kami selesai
menjemur. “Alhamdulillah… hari ini selesai lebih cepat.” Kata Paman, setelah
melepas lelah. “Mau aku buatkan kopi, Paman?” balasku, menawarkan. “Tidak usah.
Lebih baik kau cepat ke pasar sebelum semua dagangan para pedagang habis.”
Jawab Paman, merogoh celananya. “Baiklah.” Balasku, mengambil uang dari tangan
Paman.
Aku pun berganti baju kemudian
bergegas pergi ke pasar. Sampai di pasar, ternyata pasar mulai sepi. Jika seperti
ini, lebih enak masak apa? Yang murah
dan bergizi namun juga masih terjual di pasar yang mulai sepi ini. Aku pun
mulai mencari bahan-bahan yang dibutuhkan. Gandum, telur, terigu, kacang panjang, cabe merah, cabe hijau, bakso, ikan,
dan jagung. Entah apa jadinya nanti, tapi yang pasti akan menjadi masakan yang
enak. Kemudian aku pun menghalau bis untuk pulang.
Ku masuki bus itu setelah ia
berhenti dan menurunkan beberapa orang. Uh… paling tidak menyenangkan ya di dalam
bis ini. Bermacam-macam bau badan orang menjadi satu. Uh, ini benar-benar
mengesalkan, namun mau bagaimana lagi, bis Indonesia memang begini.
Saat aku sedang nikmatnya
menyandarkan tubuhku di kursi hitam yang tidak empuk itu, aku melihat seorang
lelaki sedang mengincar sesuatu dari tas seorang ibu berposturkan gemuk,
pendek, dan ipel-ipel. Aku pun beranjak dari tempat dudukku dan memperbolehkan ibu-ibu
itu duduk di bangkuku. Aku melihat lelaki tadi. Ia terlihat sangat kesal. Namun
ia tidak menyerah dan mulai mengincar dompet yang lain. Ia jalan ke belakang,
aku pun mengikutinya. Dan sekarang ia mengincar dompet seorang pria
berposturkan lebih tinggi darinya dengan rambut, eh… rambutnya mirip dengan
Hoshikuzu! Eh, kenapa aku langsung teringat olehnya? Ah, fokus ke lelaki
pencopet itu saja. Saat tangan pencopet itu akan mengambil dompet dari saku
seorang cowok itu, aku pun menabrak orang itu dengan sengaja. “Ah, maaf. Tadi
saya tersandung.” Kataku, menunduk bersalah. Selang, aku mengintip lelaki
pencopet itu. Ia terlihat kaget melihatku ada di belakang. Ia terlihat
melihatku tidak senang. Aku melihat cowok yang uangnya hampir kecopetan itu.
Aku pun terkejut dengan apa yang kulihat. “Ho, Hoshikuzu?” ia tidak membalas
perkataanku. Ah, tapi aku juga tidak ingin mendengar suaranya. “Itu sangat
berbahaya, kau tahu?” kata Hoshikuzu tanpa menatapku. “Eh, maaf. Namanya juga
tersandung.” Balasku, melepas tangan Hoshikuzu dari pundakku. “Bukan itu.” Kata
Hoshikuzu. Aku pun menatap matanya yang sedang mengarah ke… wo… ke lelaki
pencopet? Apa dia melihatnya? “I, itu… aku hanya ingin menegaskan bahwa aku
tidak buta!” Jawabku dengan tegas setelah aku mengerti maksud dari
perkataannya. Aku pun kembali mengikuti lelaki pencopet itu lagi. Namun
kelihatannya ia sudah menyerah, atau punya maksud lain? Tak ada yang tahu
selain Allah dan dirinya sendiri. “Begitu…” lirih Hoshikuzu.
Bis pun berhenti. Tujuan lelaki itu
sama denganku. Dan, kenapa Hoshikuzu juga mengikutiku? “Ada apa denganmu?”
tanyaku tak mengerti. “Jangan ge-er.
Aku hanya ingin pergi ke toko buku.” Balas Hoshikuzu, melegakanku. Aku pun
berlalu. Niatku ingin mengikuti lelaki pencopet itu lagi, namun gara-gara laki-laki
yang ada di belakangku, aku kehilangannya. Niatku itu pun terpendam. Dan aku
akhirnya memutuskan untuk pulang.
Aku dan Hoshikuzu berpisah di
perempatan kecil. Dan aku tanpa khawatir terus berjalan dan mendengar lengkah
kaki Hoshikuzu yang semakin jauh dariku. Eh, kenapa aku peduli padanya? Ah,
bodo’ ah! Aku pun terus melanjutkan langkahku. Namun di tengah jalan, aku… aku
bertemu dengan lelaki pencopet itu lagi? Ah, tapi sudah kuduga sih. Dia marah
karena aku selalu mencegahnya beraksi. Aku jadi ingat, dahulu aku juga
melakukannya. Tapi bukan dengannya, dengan orang lain.
“Serahkan semua uangmu!” bentak
lelaki itu, sedikit mendekatiku. Aku hanya diam berusaha menentangnya. “Uang
atau nyawa!?” bentak lelaki itu. Aku tetap diam dan terus menentangnya melalui
tatapan mataku. “Ka… u…” kata lelaki itu, dengan tangan kanan mengambil pisau
dari saku celana kanannya. Aku tetap berusaha tenang. Saat pisau itu akan
keluar dari saku lelaki itu, tangannya dihalang oleh Hoshikuzu. “Ho,
Hoshikuzu?” lirihku tak percaya. “Sudah kuduga kau akan menyelamatkannya.” Kata
lelaki itu, membuang pisau yang ia bawa.
“Kenapa kau lakukan itu?” tanya
lelaki itu kepadaku. Aku menatapnya tak mengerti. “Itu hal yang sangat
berbahaya. Jika kau memergoki pencopet selain aku, saat ini kalian berdua
mungkin tidak akan selamat.” Lanjut lelaki itu, melepaskan belenggu tangan
Hoshikuzu. Aku pun tersenyum kecil mendengar hal itu.
“Apa kelihatannya aku buta?” aku
berbalik tanya pada lelaki itu. “Hah?” balas lelaki itu. “Aku tidak ingin dianggap
buta, ataupun membenarkan tindakan yang tidak benar. Itu akan membuat kiamat
semakin cepat.” Lanjutku, menjelaskan.
“Bagaimana dengan konsekuensi
nyawa?” tanya lelaki itu. Kelihatannya dia mulai tertarik dengan perbincangan
ini. “Allah yang akan menyelamatkan orang yang membela agama-Nya. Atau jika
nyawanya melayang, mungkinkah itu bisa disebut mati syahid? Aku percaya pasti
bisa.” Jawabku, dengan senyum kebanggaan terukir di wajahku.
Suasana pun menjadi sepi untuk
sesaat. Hanya suara kendaraan dan klakson yang bersahut-sahutan. “Jadi, kenapa
kau melakukan hal yang dilarang Allah?” tanyaku, tak mengerti. “Omong kosong. Apa kau tidak bisa melihat?
Jaman sekarang, tidak seperti jaman dahulu. Cobaan jaman sekarang tak semudah
dahulu.” Balas lelaki itu, tak menjawab pertanyaanku.
“Begitukah? Bagaimana dengan
Rasulullah yang telah susah payah menyebarkan agama yang paling benar? Apa itu
mudah? Apa kau pernah berfikir seberapa besar cobaan yang Allah berikan
padanya? Untuk agama yang paling benar ini, cobaannya tidak jauh beda. Jaman
sekarang bisa disebut jaman jahiliah. Sama saat Rasulullah menyebarkan
agamanya. Sungguh Maha Adil Allah.” Jelasku, dengan suara bergetar.
“Omong kosong dengan hal itu. Dia
sama sekali tidak pernah memberkati keluargaku yang miskin. Keluargaku… bapak, ibu,
adik… mereka semua sakit-sakitan. Tak ada… tak ada berkah pada keluargaku. Kau,
orang seperti kau, benar-benar tidak mengerti kami.” Balas lelaki itu, teringat
pada keluarganya. Tanpa terasa, aku menggenggam tangan Hoshikuzu yang entah
sejak kapan ia berada di sampingku.
“Aku turut prihatin kepada orang
yang tidak pernah bersyukur. Ini sungguh menyedihkan. Inikah kepedihan yang
dirasakan Rasulullah dahulu? Kau… bersyukurlah, niscaya Allah akan memberimu
kemudahan.” Balasku, menyeka air mata yang akan menetes. Lelaki itu pun berlari
meninggalkan kami setelah dia menatapku cukup lama. Aku pun langsung
menjatuhkan diriku ke tanah. Hoshikuzu terlihat terkejut dengan apa yang aku
lakukan. Matanya langsung tersentak saat ia mendengar apa yang aku katakan,
“Maha Benar Allah. Maha Adil Allah. Sungguh menyedihkan orang-orang yang tidak
bersyukur. Kenapa… hiks… kenapa… ini semua bisa terjadi?”
***
*** ***