Kamis, 28 Maret 2013

INGATAN YANG KEMBALI 4

Jujur saja aku takut jika cerita ini membuat kalian so boring... jadi tolong beri masukan agar cerita lebih berwarna... 


JANGAN BUTA (Ahad)


Mmm… aku bingung harus mengawali cerita pagi ini bagaimana. Kalian sudah tahu bukan kebiasaan pagiku? Yah, kalau masih dalam masa haid, pagi-pagi begini kalau tidak menjahili Paman, mungkin juga menyapu atau menyiapkan sarapan. Ah, benar juga, kalian tidak tahu ya, jika di sini tidak memakai jasa pembantu? Semuanya sendiri. Kecuali mencuci dan setrika. Jika ada waktu luang, barulah kami melakukannya sendiri. Dan kali ini kalian bisa melihat kemesraan kami untuk hal itu. Di hari Ahad yang cerah ini, kami akan mencuci bersama. “Semoga cuciannya cepat kering.” Mulailah kami menjemur.
Tak lama kemudian kami selesai menjemur. “Alhamdulillah… hari ini selesai lebih cepat.” Kata Paman, setelah melepas lelah. “Mau aku buatkan kopi, Paman?” balasku, menawarkan. “Tidak usah. Lebih baik kau cepat ke pasar sebelum semua dagangan para pedagang habis.” Jawab Paman, merogoh celananya. “Baiklah.” Balasku, mengambil uang dari tangan Paman.
Aku pun berganti baju kemudian bergegas pergi ke pasar. Sampai di pasar, ternyata pasar mulai sepi. Jika seperti ini, lebih enak masak apa? Yang  murah dan bergizi namun juga masih terjual di pasar yang mulai sepi ini. Aku pun mulai mencari bahan-bahan yang dibutuhkan. Gandum, telur, terigu, kacang  panjang, cabe merah, cabe hijau, bakso, ikan, dan jagung. Entah apa jadinya nanti, tapi yang pasti akan menjadi masakan yang enak. Kemudian aku pun menghalau bis untuk pulang.
Ku masuki bus itu setelah ia berhenti dan menurunkan beberapa orang. Uh… paling tidak menyenangkan ya di dalam bis ini. Bermacam-macam bau badan orang menjadi satu. Uh, ini benar-benar mengesalkan, namun mau bagaimana lagi, bis Indonesia memang begini.
Saat aku sedang nikmatnya menyandarkan tubuhku di kursi hitam yang tidak empuk itu, aku melihat seorang lelaki sedang mengincar sesuatu dari tas seorang ibu berposturkan gemuk, pendek, dan ipel-ipel. Aku pun beranjak dari tempat dudukku dan memperbolehkan ibu-ibu itu duduk di bangkuku. Aku melihat lelaki tadi. Ia terlihat sangat kesal. Namun ia tidak menyerah dan mulai mengincar dompet yang lain. Ia jalan ke belakang, aku pun mengikutinya. Dan sekarang ia mengincar dompet seorang pria berposturkan lebih tinggi darinya dengan rambut, eh… rambutnya mirip dengan Hoshikuzu! Eh, kenapa aku langsung teringat olehnya? Ah, fokus ke lelaki pencopet itu saja. Saat tangan pencopet itu akan mengambil dompet dari saku seorang cowok itu, aku pun menabrak orang itu dengan sengaja. “Ah, maaf. Tadi saya tersandung.” Kataku, menunduk bersalah. Selang, aku mengintip lelaki pencopet itu. Ia terlihat kaget melihatku ada di belakang. Ia terlihat melihatku tidak senang. Aku melihat cowok yang uangnya hampir kecopetan itu. Aku pun terkejut dengan apa yang kulihat. “Ho, Hoshikuzu?” ia tidak membalas perkataanku. Ah, tapi aku juga tidak ingin mendengar suaranya. “Itu sangat berbahaya, kau tahu?” kata Hoshikuzu tanpa menatapku. “Eh, maaf. Namanya juga tersandung.” Balasku, melepas tangan Hoshikuzu dari pundakku. “Bukan itu.” Kata Hoshikuzu. Aku pun menatap matanya yang sedang mengarah ke… wo… ke lelaki pencopet? Apa dia melihatnya? “I, itu… aku hanya ingin menegaskan bahwa aku tidak buta!” Jawabku dengan tegas setelah aku mengerti maksud dari perkataannya. Aku pun kembali mengikuti lelaki pencopet itu lagi. Namun kelihatannya ia sudah menyerah, atau punya maksud lain? Tak ada yang tahu selain Allah dan dirinya sendiri. “Begitu…” lirih Hoshikuzu.
Bis pun berhenti. Tujuan lelaki itu sama denganku. Dan, kenapa Hoshikuzu juga mengikutiku? “Ada apa denganmu?” tanyaku tak mengerti. “Jangan ge-er. Aku hanya ingin pergi ke toko buku.” Balas Hoshikuzu, melegakanku. Aku pun berlalu. Niatku ingin mengikuti lelaki pencopet itu lagi, namun gara-gara laki-laki yang ada di belakangku, aku kehilangannya. Niatku itu pun terpendam. Dan aku akhirnya memutuskan untuk pulang.
Aku dan Hoshikuzu berpisah di perempatan kecil. Dan aku tanpa khawatir terus berjalan dan mendengar lengkah kaki Hoshikuzu yang semakin jauh dariku. Eh, kenapa aku peduli padanya? Ah, bodo’ ah! Aku pun terus melanjutkan langkahku. Namun di tengah jalan, aku… aku bertemu dengan lelaki pencopet itu lagi? Ah, tapi sudah kuduga sih. Dia marah karena aku selalu mencegahnya beraksi. Aku jadi ingat, dahulu aku juga melakukannya. Tapi bukan dengannya, dengan orang lain.
“Serahkan semua uangmu!” bentak lelaki itu, sedikit mendekatiku. Aku hanya diam berusaha menentangnya. “Uang atau nyawa!?” bentak lelaki itu. Aku tetap diam dan terus menentangnya melalui tatapan mataku. “Ka… u…” kata lelaki itu, dengan tangan kanan mengambil pisau dari saku celana kanannya. Aku tetap berusaha tenang. Saat pisau itu akan keluar dari saku lelaki itu, tangannya dihalang oleh Hoshikuzu. “Ho, Hoshikuzu?” lirihku tak percaya. “Sudah kuduga kau akan menyelamatkannya.” Kata lelaki itu, membuang pisau yang ia bawa.
“Kenapa kau lakukan itu?” tanya lelaki itu kepadaku. Aku menatapnya tak mengerti. “Itu hal yang sangat berbahaya. Jika kau memergoki pencopet selain aku, saat ini kalian berdua mungkin tidak akan selamat.” Lanjut lelaki itu, melepaskan belenggu tangan Hoshikuzu. Aku pun tersenyum kecil mendengar hal itu.
“Apa kelihatannya aku buta?” aku berbalik tanya pada lelaki itu. “Hah?” balas lelaki itu. “Aku tidak ingin dianggap buta, ataupun membenarkan tindakan yang tidak benar. Itu akan membuat kiamat semakin cepat.” Lanjutku, menjelaskan.
“Bagaimana dengan konsekuensi nyawa?” tanya lelaki itu. Kelihatannya dia mulai tertarik dengan perbincangan ini. “Allah yang akan menyelamatkan orang yang membela agama-Nya. Atau jika nyawanya melayang, mungkinkah itu bisa disebut mati syahid? Aku percaya pasti bisa.” Jawabku, dengan senyum kebanggaan terukir di wajahku.
Suasana pun menjadi sepi untuk sesaat. Hanya suara kendaraan dan klakson yang bersahut-sahutan. “Jadi, kenapa kau melakukan hal yang dilarang Allah?” tanyaku, tak mengerti.  “Omong kosong. Apa kau tidak bisa melihat? Jaman sekarang, tidak seperti jaman dahulu. Cobaan jaman sekarang tak semudah dahulu.” Balas lelaki itu, tak menjawab pertanyaanku.
“Begitukah? Bagaimana dengan Rasulullah yang telah susah payah menyebarkan agama yang paling benar? Apa itu mudah? Apa kau pernah berfikir seberapa besar cobaan yang Allah berikan padanya? Untuk agama yang paling benar ini, cobaannya tidak jauh beda. Jaman sekarang bisa disebut jaman jahiliah. Sama saat Rasulullah menyebarkan agamanya. Sungguh Maha Adil Allah.” Jelasku, dengan suara bergetar.
“Omong kosong dengan hal itu. Dia sama sekali tidak pernah memberkati keluargaku yang miskin. Keluargaku… bapak, ibu, adik… mereka semua sakit-sakitan. Tak ada… tak ada berkah pada keluargaku. Kau, orang seperti kau, benar-benar tidak mengerti kami.” Balas lelaki itu, teringat pada keluarganya. Tanpa terasa, aku menggenggam tangan Hoshikuzu yang entah sejak kapan ia berada di sampingku.
“Aku turut prihatin kepada orang yang tidak pernah bersyukur. Ini sungguh menyedihkan. Inikah kepedihan yang dirasakan Rasulullah dahulu? Kau… bersyukurlah, niscaya Allah akan memberimu kemudahan.” Balasku, menyeka air mata yang akan menetes. Lelaki itu pun berlari meninggalkan kami setelah dia menatapku cukup lama. Aku pun langsung menjatuhkan diriku ke tanah. Hoshikuzu terlihat terkejut dengan apa yang aku lakukan. Matanya langsung tersentak saat ia mendengar apa yang aku katakan, “Maha Benar Allah. Maha Adil Allah. Sungguh menyedihkan orang-orang yang tidak bersyukur. Kenapa… hiks… kenapa… ini semua bisa terjadi?”
*** *** *** 

Tidak ada komentar :

Posting Komentar