Kamis, 28 Maret 2013

INGATAN YANG KEMBALI 4

Jujur saja aku takut jika cerita ini membuat kalian so boring... jadi tolong beri masukan agar cerita lebih berwarna... 


JANGAN BUTA (Ahad)


Mmm… aku bingung harus mengawali cerita pagi ini bagaimana. Kalian sudah tahu bukan kebiasaan pagiku? Yah, kalau masih dalam masa haid, pagi-pagi begini kalau tidak menjahili Paman, mungkin juga menyapu atau menyiapkan sarapan. Ah, benar juga, kalian tidak tahu ya, jika di sini tidak memakai jasa pembantu? Semuanya sendiri. Kecuali mencuci dan setrika. Jika ada waktu luang, barulah kami melakukannya sendiri. Dan kali ini kalian bisa melihat kemesraan kami untuk hal itu. Di hari Ahad yang cerah ini, kami akan mencuci bersama. “Semoga cuciannya cepat kering.” Mulailah kami menjemur.
Tak lama kemudian kami selesai menjemur. “Alhamdulillah… hari ini selesai lebih cepat.” Kata Paman, setelah melepas lelah. “Mau aku buatkan kopi, Paman?” balasku, menawarkan. “Tidak usah. Lebih baik kau cepat ke pasar sebelum semua dagangan para pedagang habis.” Jawab Paman, merogoh celananya. “Baiklah.” Balasku, mengambil uang dari tangan Paman.
Aku pun berganti baju kemudian bergegas pergi ke pasar. Sampai di pasar, ternyata pasar mulai sepi. Jika seperti ini, lebih enak masak apa? Yang  murah dan bergizi namun juga masih terjual di pasar yang mulai sepi ini. Aku pun mulai mencari bahan-bahan yang dibutuhkan. Gandum, telur, terigu, kacang  panjang, cabe merah, cabe hijau, bakso, ikan, dan jagung. Entah apa jadinya nanti, tapi yang pasti akan menjadi masakan yang enak. Kemudian aku pun menghalau bis untuk pulang.
Ku masuki bus itu setelah ia berhenti dan menurunkan beberapa orang. Uh… paling tidak menyenangkan ya di dalam bis ini. Bermacam-macam bau badan orang menjadi satu. Uh, ini benar-benar mengesalkan, namun mau bagaimana lagi, bis Indonesia memang begini.
Saat aku sedang nikmatnya menyandarkan tubuhku di kursi hitam yang tidak empuk itu, aku melihat seorang lelaki sedang mengincar sesuatu dari tas seorang ibu berposturkan gemuk, pendek, dan ipel-ipel. Aku pun beranjak dari tempat dudukku dan memperbolehkan ibu-ibu itu duduk di bangkuku. Aku melihat lelaki tadi. Ia terlihat sangat kesal. Namun ia tidak menyerah dan mulai mengincar dompet yang lain. Ia jalan ke belakang, aku pun mengikutinya. Dan sekarang ia mengincar dompet seorang pria berposturkan lebih tinggi darinya dengan rambut, eh… rambutnya mirip dengan Hoshikuzu! Eh, kenapa aku langsung teringat olehnya? Ah, fokus ke lelaki pencopet itu saja. Saat tangan pencopet itu akan mengambil dompet dari saku seorang cowok itu, aku pun menabrak orang itu dengan sengaja. “Ah, maaf. Tadi saya tersandung.” Kataku, menunduk bersalah. Selang, aku mengintip lelaki pencopet itu. Ia terlihat kaget melihatku ada di belakang. Ia terlihat melihatku tidak senang. Aku melihat cowok yang uangnya hampir kecopetan itu. Aku pun terkejut dengan apa yang kulihat. “Ho, Hoshikuzu?” ia tidak membalas perkataanku. Ah, tapi aku juga tidak ingin mendengar suaranya. “Itu sangat berbahaya, kau tahu?” kata Hoshikuzu tanpa menatapku. “Eh, maaf. Namanya juga tersandung.” Balasku, melepas tangan Hoshikuzu dari pundakku. “Bukan itu.” Kata Hoshikuzu. Aku pun menatap matanya yang sedang mengarah ke… wo… ke lelaki pencopet? Apa dia melihatnya? “I, itu… aku hanya ingin menegaskan bahwa aku tidak buta!” Jawabku dengan tegas setelah aku mengerti maksud dari perkataannya. Aku pun kembali mengikuti lelaki pencopet itu lagi. Namun kelihatannya ia sudah menyerah, atau punya maksud lain? Tak ada yang tahu selain Allah dan dirinya sendiri. “Begitu…” lirih Hoshikuzu.
Bis pun berhenti. Tujuan lelaki itu sama denganku. Dan, kenapa Hoshikuzu juga mengikutiku? “Ada apa denganmu?” tanyaku tak mengerti. “Jangan ge-er. Aku hanya ingin pergi ke toko buku.” Balas Hoshikuzu, melegakanku. Aku pun berlalu. Niatku ingin mengikuti lelaki pencopet itu lagi, namun gara-gara laki-laki yang ada di belakangku, aku kehilangannya. Niatku itu pun terpendam. Dan aku akhirnya memutuskan untuk pulang.
Aku dan Hoshikuzu berpisah di perempatan kecil. Dan aku tanpa khawatir terus berjalan dan mendengar lengkah kaki Hoshikuzu yang semakin jauh dariku. Eh, kenapa aku peduli padanya? Ah, bodo’ ah! Aku pun terus melanjutkan langkahku. Namun di tengah jalan, aku… aku bertemu dengan lelaki pencopet itu lagi? Ah, tapi sudah kuduga sih. Dia marah karena aku selalu mencegahnya beraksi. Aku jadi ingat, dahulu aku juga melakukannya. Tapi bukan dengannya, dengan orang lain.
“Serahkan semua uangmu!” bentak lelaki itu, sedikit mendekatiku. Aku hanya diam berusaha menentangnya. “Uang atau nyawa!?” bentak lelaki itu. Aku tetap diam dan terus menentangnya melalui tatapan mataku. “Ka… u…” kata lelaki itu, dengan tangan kanan mengambil pisau dari saku celana kanannya. Aku tetap berusaha tenang. Saat pisau itu akan keluar dari saku lelaki itu, tangannya dihalang oleh Hoshikuzu. “Ho, Hoshikuzu?” lirihku tak percaya. “Sudah kuduga kau akan menyelamatkannya.” Kata lelaki itu, membuang pisau yang ia bawa.
“Kenapa kau lakukan itu?” tanya lelaki itu kepadaku. Aku menatapnya tak mengerti. “Itu hal yang sangat berbahaya. Jika kau memergoki pencopet selain aku, saat ini kalian berdua mungkin tidak akan selamat.” Lanjut lelaki itu, melepaskan belenggu tangan Hoshikuzu. Aku pun tersenyum kecil mendengar hal itu.
“Apa kelihatannya aku buta?” aku berbalik tanya pada lelaki itu. “Hah?” balas lelaki itu. “Aku tidak ingin dianggap buta, ataupun membenarkan tindakan yang tidak benar. Itu akan membuat kiamat semakin cepat.” Lanjutku, menjelaskan.
“Bagaimana dengan konsekuensi nyawa?” tanya lelaki itu. Kelihatannya dia mulai tertarik dengan perbincangan ini. “Allah yang akan menyelamatkan orang yang membela agama-Nya. Atau jika nyawanya melayang, mungkinkah itu bisa disebut mati syahid? Aku percaya pasti bisa.” Jawabku, dengan senyum kebanggaan terukir di wajahku.
Suasana pun menjadi sepi untuk sesaat. Hanya suara kendaraan dan klakson yang bersahut-sahutan. “Jadi, kenapa kau melakukan hal yang dilarang Allah?” tanyaku, tak mengerti.  “Omong kosong. Apa kau tidak bisa melihat? Jaman sekarang, tidak seperti jaman dahulu. Cobaan jaman sekarang tak semudah dahulu.” Balas lelaki itu, tak menjawab pertanyaanku.
“Begitukah? Bagaimana dengan Rasulullah yang telah susah payah menyebarkan agama yang paling benar? Apa itu mudah? Apa kau pernah berfikir seberapa besar cobaan yang Allah berikan padanya? Untuk agama yang paling benar ini, cobaannya tidak jauh beda. Jaman sekarang bisa disebut jaman jahiliah. Sama saat Rasulullah menyebarkan agamanya. Sungguh Maha Adil Allah.” Jelasku, dengan suara bergetar.
“Omong kosong dengan hal itu. Dia sama sekali tidak pernah memberkati keluargaku yang miskin. Keluargaku… bapak, ibu, adik… mereka semua sakit-sakitan. Tak ada… tak ada berkah pada keluargaku. Kau, orang seperti kau, benar-benar tidak mengerti kami.” Balas lelaki itu, teringat pada keluarganya. Tanpa terasa, aku menggenggam tangan Hoshikuzu yang entah sejak kapan ia berada di sampingku.
“Aku turut prihatin kepada orang yang tidak pernah bersyukur. Ini sungguh menyedihkan. Inikah kepedihan yang dirasakan Rasulullah dahulu? Kau… bersyukurlah, niscaya Allah akan memberimu kemudahan.” Balasku, menyeka air mata yang akan menetes. Lelaki itu pun berlari meninggalkan kami setelah dia menatapku cukup lama. Aku pun langsung menjatuhkan diriku ke tanah. Hoshikuzu terlihat terkejut dengan apa yang aku lakukan. Matanya langsung tersentak saat ia mendengar apa yang aku katakan, “Maha Benar Allah. Maha Adil Allah. Sungguh menyedihkan orang-orang yang tidak bersyukur. Kenapa… hiks… kenapa… ini semua bisa terjadi?”
*** *** *** 

INGATAN YANG KEMBALI 3

Bagaimana? Apa menarik? Masih ada lanjutannya, silahkan dinikmati. Semoga kalian senang dengan cerita ini...

MURID BARU MERUBAH SEGALANYA (Sabtu)


                “Gila! Jantungku berdetak terlalu keras kemarin!” seru Anita saat aku memarkirkan pantatku di bangku. Aku hanya tersenyum mendengarnya. “Sebenarnya pekerjaannya itu apa sih? Potongannya cukup rapi untuk seorang cowok, hlo!” lanjut Anita tak berhenti kagum. “Jangan terlalu kagum. Pamanku tidak sehebat Allah.” Balasku. “Itu terlalu pasti, Taniaku sayang.” Aku hanya tersenyum lagi mendengarnya. “Paman hanya seorang manager marketing.” Jawabku. “HEEEH!!! Gak mungkin! Masa’ bisa memotong rambut sehebat ini?” balas Anita tak mempercayai. “Katanya ada seorang cewek yang mengajarinya. Cewek itu bakal jadi bibiku. Tapi bukan pacarnya Paman.” Jawabku, mengeluarkan buku pelajaran dari dalam tas.
“Ah, payah! Benar juga… orang ganteng pasti sudah memiliki pasangan. Apalagi seorang muslim. Rumit untuk menjelaskan hubungan Pamanmu, ya!” kata Anita. “Yah, begitulah. Bagaimana besok denganku, ya? Hahaha… itu masih terlalu jauh.” Balasku, dengan tangan menyalin pekerjaan milik Anita.
“Apa kau kecewa?” tanyaku pada teman sebangkuku. “Mo? Apa menurutmu aku menyukai pamanmu? Aku hanya mengaguminya.” Jawab Anita. “Apa aku harus percaya?” balasku, menggoda Anita. “Aish…” balas Anita, aku hanya tertawa melihat ekspresinya itu.
Bel masuk pun berbunyi. Guru biologi memasuki kelas kami yang… cukup bisa dibilang kinclong! Eeehhh… guru biologi itu membawa seorang murid baru? Suasana kelas menjadi bising mempertanyakan murid baru itu. Rambutnya yang cukup gondrong hingga bawah telinganya dan berponi. Dengan tindik yang cukup banyak di bagian telinga kanan dan kirinya, memperlihatkan jika dia tipe orang yang tidak kusukai. “Hari ini kita kedatangan murid baru dari luar negri. Perkenalkan dirimu, Nak.” Kata guru biologi itu. Aku tak mengerti apa alasannya guru itu berbicara bersamaan dengan keluarnya keringat yang kelihatannya itu adalah keringat ketakutan. Murid-murid yang lain ramai menanyakan hal yang sama seperti pertanyaanku, ‘kenapa dia pindah disaat akan menghadapi ujian?’ kalian heran juga? Yah, berarti kalian tipe orang yang rata-rata. Kalian tidak jauh beda dari aku dan yang lainnya. Kalian tipe yang mudah beradaptasi.
“Jangan pernah merepotkanku.” Kata murid baru itu dengan dinginnya. “HHHHEEEEE….?” Balas murid-murid yang lain dengan sangat serempak. Aku juga termasuk, lhoh… aku benar-benar heran dengan murid baru itu. Bu guru biologi juga cukup tercengang dengan tingkah murid didik yang satu ini. Tapi kelihatannya guru ini mengerti benar sikap murid baru ini. Haah… ini memusingkanku! “Ah! Baik-baik dengan murid yang satu ini, ya. Dan, silahkan kau pilih bangku yang kau suka.” Kata guru itu dengan gugup. Ini sangat mencurigakan. Ah, sudahlah, dia juga bukan urusanku.
“Aku akan duduk disebelah cewek berjilbab dan berkacamata itu.” Kata murid baru itu. Sekali lagi dia sukses membuat satu kelas tercengang kembali. “Tania? Tapi dia sudah ada teman sebangku.” Balas guru biologi dengan tingkah grogi dan tak ada kepercayaan diri.
“Heee… ternyata kalian saling kenal, ya?” tanya Anita, terheran-heran. “Jika aku mengenalnya, sudah sedari tadi aku menyapanya.” Balasku, menatap Anita tidak senang. “Eh, kelihatannya kau tidak menyukainya.” Balas Anita, tak percaya. “Ya!” jawabku dengan tegas.
“Perhatian… baiklah, jika begitu. Tania, apa kau keberatan sebelahan dengan Hoshikuzu?” tanya Bu guru biologi itu pada akhirnya meminta pendapatku. “Ya!” jawabku dengan singkat dan tegas.
“Eh, apa kau yakin, Tan?” bisik Anita tak percaya. Anita menatap murid baru yang bernama Hoshikuzu. Wajah si anak baru itu terlihat menatap tajam kearahku. “Akuma… Amai…” kata Hoshikuzu dengan senyum liciknya, kemudian ia pun menghampiriku. Pandangan seluruh kelas pun tertuju pada kami. “Kau, selalu seperti itu.” Bisik Hoshikuzu, membuatku membelalak tak percaya. Dia membalas dengan senyum sinisnya. “Ta, Tania, dia mengenalmu.” Kata Anita. “Benar... Apa kau mengenalku?” tanyaku, menatapnya tajam. “Bagaimana denganmu?” balik tanya Hoshikuzu. Dia pun menyingkirkan tas Anita dan membuat Anita pergi dari bangkunya. “Aku akan lebih banyak bertanya dengan perempuan ini. Jadi kau dan yang lainnya tidak perlu mencemaskanku.” Kata Hoshikuzu berbicara pada guru biologi yang sedang membeku di depan kelas.
Pelajaran pun dimulai kembali tanpa ada keributan. Namun itu hanya berlangsung 5 menit. Dan bel pun berdering dengan nyaringnya. Pergantian jam pelajaran dimulai. Kelas pun menjadi bising. Dan tidak sedikit pula yang sedang membicarakanku dengan cowok baru ini. “Apa di Indonesia menyenangkan?” tanya Hoshikuzu, yang sedari tadi saat jam pelajaran memandangku terus. “Bukankah kau sudah lama ada di sini?” balik tanya aku, tanpa memandangnya sedikit pun. “Kau tipe yang cukup pintar juga, ya.” Puji Hoshikuzu. Aku sungguh tidak menyukainya. “Aku dengar orang Indonesia cukup ramah. Bagaimana denganmu?” tanya Hoshikuzu kembali. “Apa di Jepang orangnya pada galak-galak?” balik tanya aku kembali. “Baiklah, akan aku layani permintaanmu.” Balas Hoshikuzu, membuatku cukup memandang wajahnya yang mulai serius (bermain). “Bagaimana dengan pelajarannya? Menurutku level SMA disini mungkin seperti level SMP disana kali, ya?”
“Apa menurutmu aku ini suka bemain macam seperti ini? Ini memalukan.” Balasku, menyudahi permainan sebelum dimulai. “Apa itu tidak menarik? Permainan apa yang menurutmu menarik?” tanya Hoshikuzu tidak mau menyerah. “Apa itu penting?” balasku dengan dinginnya. Untuk sementara, mungkin itu membuatnya bungkam. “Apa boleh aku minta jadwal pelajarannya?” tanya Hoshikuzu mulai membuka pembicaraan baru. Untunglah bukan hal pribadi lagi. “Mintalah ke ruang TU.” Jawabku sedikit melunak. Senyum kemenangan terukir pada wajah Hoshikuzu.
Setelah pelajaran, dilanjutkan istirahat pertama. Aku kembali kepada Anita kusayang. Haaah… rasanya seperti sudah seminggu tidak bersamanya. “Pusing dekat dengannya. Anita, aku ingin bersebelahan denganmu lagi. Aku bahkan lebih berisik dari biasanya jika duduk dengannya. Bukankah tujuan utama sebangku ada dua jenis kelamin itu agar tidak ada yang ramai, tapi kenapa aku dengannya malah lebih ramai dari biasanya. Apalagi dia yang selalu mengajakku ribut. Dan aku benar-benar kesal saat guru menegurku. Itu baru yang pertama dalam kehidupan SMA ku ditegur oleh guru. Itu sangat memalukan, Anita. Dan dia sangat cerewet. Haaah… rasanya sangat menyebalkan. Aku ingin duduk denganmu lagi.” Keluhku pada Anita. Meski aku mengeluh sepanjang sungai nil, dia akan tetap terus mendengarkanku. Itulah tipe sahabat yang aku sukai. Apalagi setelah aku berkeluh kesah, dia pasti menanggapinya.
“Kau berubah, Ya.” Kata Anita. “Eh?” balasku tak mengerti. “Biasanya kau mengeluh kurang dari 20 detik, itu pun sudah menyangkup semuanya. Dan sekarang, cuma karena masalah satu cowok, kau mengeluh sangat banyak dan panjang. Aku sih tidak keberatan untuk mendengarnya. Hanya cukup terkejut saja.” Jawab Anita membuatku sadar. Aku terlalu perhatian pada murid baru itu. Itu bukanlah tipeku. Ini terlalu rumit. “Kau benar…” tanpa tersadar aku mengikuti arah pembicaraan lelaki itu.
“Tapi Tan, Hoshikuzu itu lumayan keren juga, bukan!? Bahkan dia kereeeeennnn abis!!!!” kata Anita dengan semangat membaranya. “Aku lebih suka Rasulullah. Aku bahkan bisa membayangkan setampan apa Rasulullah.” Balasku, dengan menatap jauh ke langit. “Aku pikir kau tidak akan dapat bertemu dengan Beliau.” Kata Anita, memandangku tanpa ekspresi. “Hehehe… iya juga sih. Aku terlalu bermimpi, ya!” balasku, membenarkan perkataan Anita.
Seperti ada yang mengikuti. Apa hanya perasaanku saja ya? Aku pun membalikkan tubuhku secara tiba-tiba. Tapi tidak ada yang menatapku. Semuanya sedang sibuk dengan topiknya masing-masing. “Ada apa?” tanya Anita, heran. “Tidak. Bukan apa-apa.” jawabku, melanjutkan perjalanan ke kantin. Anita terlihat bingung menatap ke belakang, namun ia pun mengikutiku dari belakang. Tanpa aku sadari memang ada yang mengikutiku.
Saat di kantin, kami pun memesan makanan seperti biasanya. Aku nasgor gak pake moto dan Anita sop ayam tanpa tomat. Dan minumannya aku jus jambu dan Anita lemon tea. Dan perasaan itu muncul lagi! Seperti ada yang memata-mataiku. Entahlah, tapi ini sangat mengganggu. “Dari tadi kelihatannya kau terlihat was-was, Tan.” Kata Anita, yang menyadari sikapku. “Ah, tidak juga. An, jika haidnya sudah selesai, mandi besarnya harus pakai bunga-bunga, ya?” balasku. “Hah? Denger dari siapa, tu? Rumor itu.” Jawab Anita, menyendok satu suapan. Aku pun mengangguk-angguk mengerti. “Jadi hanya membersihkan kulit dari debu, lalu berniat, lalu berwudhu, yang terakhir mandi. Iya, kan?” tanyaku, memastikan. “Nyem… itu tahu. Mudah bukan?” jawab Anita, setelah menelan satu suap.
“Ah, kebiasaan nih. Anita, aku ke belakang dahulu, ya.” Kataku, pamit ke belakang. “Selalu begini.” Balas Anita menatapku dengan kecewa. “Maaf… kebiasaan yang tidak bisa diubah sih. Nih uang yang harus aku bayar. Thanks ya. Mmuuaaahhh… aku sayang kamu.” Kataku, mencubit pipi Anita. Kemudian aku pun langsung pergi ke toilet.
Saat aku keluar dari toilet, aku melihat Hoshikuzu menunggu seseorang di luar toilet. Cukup terkejut, namun aku pun melangkahkan kakiku pergi melawatinya. “Apa kau sungguh melupakanku?” mendengar pertanyaan itu, langkahku terhenti. “Subhkaa namanlaa yanaa muwalaa yashuu. Maha suci Allah yang tidak pernah tidur dan tidak pernah lupa. Aku bukan Tuhan yang bisa selalu mengingat hal-hal yang tidak penting.” Balasku, tanpa menoleh. Aku pun langsung meninggalkannya. “Begitu…” lirih Hoshikuzu.
*** *** *** 

Rabu, 27 Maret 2013

INGATAN YANG KEMBALI 2

Ini masih mau membacanya????  Silahkan.... Ada bagian yang aku sensor, karena aku tidak ingin memakai merk, jadi tolong dimaafkan, ya... Gomawo...


POTONGAN RAMBUT (Jum’at)


Assalamu’alaikum semua… hahaha… pagi-pagi sudah menyebar salam di saat rambut acak-acakan dan air liur masih menempel di pipi. Eh, tapi bukan aku, aku membicarakan kalian yang bangun tidur. Eh, ini namanya pemfitnahan, ya? Padahal aku tidak tahu kalian. Ah, sudahlah, langsung ke dalam hidupku saja.
Pagi buta aku bangun karena mendengar suara adzan. Aku menuruni tangga, dan saat aku berdiri di  dapur, aku melihat Paman selesai mengambil air wudhu. Aku tersenyum jahil, dan tanpa disadari Paman, aku menyentuh bahunya, “Batal!!!!” Paman pun membalikkan tubuhnya, menempelkan kedua giginya dengan sangat kuat. “TA… NI… A!!!!” seru Paman kesal. Aku hanya menyengir tak berdosa. “Kau… bisa tidak untuk kali ini tidak jahi!?” tanya Paman. Sepertinya mood Paman sedang buruk. “Hehehe… Piece…” balasku, mengacungkan jari telunjuk dan tengah membentuk huruf v. “Habis Paman shalat, Paman mau melihatmu hafalan. Sudah hafal An-Nur?” tanya Paman, membuatku mengingat hal itu. Astaghfirullah… gawat, gawat, gawat! Aku lupa! “Ah, Paman, waktu Shalat Subuh hampir habis. Wudhu lagi dulu, sana!” balasku, langsung kabur. Hehehe… kasihan sekali Paman.
Akhirnya saat Paman selesai shalat, aku langsung berlari ke kamar mandi untuk mandi. Hehehe… lagi-lagi aku jadi anak bandel. Setelah mandi dan siap untuk sarapan, aku tercengang karena di atas meja hanya terlihat Al-Qur’an saja. “Sudah puas menghindari hafalan?” tanya Paman. “Hehehe… Paman, aku baru hafal 10 ayat… tidak mungkin aku  hafal semuanya.” Keluhku. “Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini.” Kata Paman. “Iya, I know that. Tapi… hah… bagaimana jika isinya saja?” tanyaku, menawarkan. “Ya sudahlah. Cobalah.” Jawab Paman, menyetujuinya. “Ah, Paman, sejujurnya hanya sebagian yang aku tahu, Paman.” Kataku, melebarkan senyum, tanpa mata senang. Paman hanya memukul jidatnya.
Akhirnya Paman membiarkanku sarapan dan berangkat sekolah dengan bebas. Hehehe… merasa bersalah sih, tapi bagaimana lagi, namanya juga manusia. Di sekolah, aku bertemu dengan Anita di koridor ketika aku akan ke kelas. Entah kenapa, dia terus menggaruk kepalanya yang berjilabab hijau itu. “Assalamu’alaikum…” sapa Anita, tampak serius mengukur rambutnya. “Wa’alaikumussalam. Kenapa dengan kepalamu?” balasku, heran dengan tingkahnya. “Ssst… jangan bilang kesiapa-siapa, ya. Kemarin aku lupa keramas, jadilah gatal. Menyebalkan sekali punya rambut kepanjangan.” Jawab Anita, mendesah kesal. “Owh…” balasku singkat. Kami pun berjalan memasuki kelas bersama. “Ah, benar juga! Pulang sekolah kau ada acara, Tan?” tanya Anita setelah ia meletakkan tasnya di bangku. “Tidak. Ada apa?” jawabku, tak mengerti. “Alahmdulillah… pulsek anter aku ke salon khusus wanita, ya! Kau kan yang suka potong rambut.” Balas Anita. Aku anggukkan kepalaku mengerti, “Baiklah.”
Pelajaran pun dimulai. Aku menulis segalanya yang penting yang sedang dibicarakan Pak Guru yang asyik sendiri menyelotehkan pelajaran kimia yang sungguh membuat kepala mual dan perut pusing. Ah… sebenarnya bahasa itu dilarang dibicarakan, tapi kalimat itu terdengar asyik, bukan? Dunia memang sudah gila! Semua yang salah dianggap benar, dan yang benar dianggap salah. Haah… sudahlah, kita selesaikan sampai di sini celotehan hatiku ini.
“Sekarang itu hari apa sih, An?” tanyaku, setelah aku teringat bahwa ada yang ingin kupastikan. “Jangan tanya yang aneh deh, Tan.” Balas Anita yang fokus pada Pak Guru yang sedang mengajar. “Ah, benar juga! Sudah kuduga! An, sepertinya hari ini kita tidak bisa ke salon itu deh. Selain salon itu, maaf saja ya, aku tidak tahu.” Kataku setelah kupikirkan bahwa hari ini hari Sabtu. “Ah, iya! Hari Sabtu, ya… aduh, tapi rambut panjang ini menggangguku!” keluh Anita, membuat dirinya menjadi pusat perhatian. “Mmm… sebenarnya saat aku tidak punya uang, selalu potong dengan pamanku, yah lumayan juga, sih. Bagaimana?” tanyaku meminta pendapatnya. “Haaa-aah! Aku tidak peduli yang penting rambutku gak terlalu ganggu.” Jawab Anita, menggaruk rambutnya sambil mencatat apa yang dibicarakan oleh Pak Guru.
Sore hari setelah pulang sekolah, kami pun menuju rumahku menunggu paman pulang. Sambil menunggu Paman pulang, aku pun mandi kemudian bergantian dengan Anita. Kami melanjutkan penantian paman dengan… mungkin menurut kalian ini membosankan, tapi jika pelajaran itu pelajaran yang paling kita sukai, itu akan terasa mengasyikkan.
Adzan Maghrib pun bekumandang, saat itu juga suara mobil Paman terdengar. Aku pun turun ke bawah membuka gerbang, diikuti oleh Anita. “Assalamu’alaikum…” sapa Paman, mengulurkan tangannya dan aku cium tangannya. “Wa’alaikumussalam… Paman, Anita datang.” Kataku, mendekatkan Anita ke jendela mobil. “Owh… Anita…” kata Paman. Kemudian Paman pun memasukkan mobilnya ke dalam garasi. Aku menyuruh Anita untuk naik ke atas dan aku katakan maksud dari kedatangan Anita. “Eh, tapi jika begitu, auratnya…” balas Paman ketika mendengar penjelasanku tadi. “Bagaimana lagi…” keluhku bingung. Paman terlihat berfikir ketika aku kesusahan. Ah, di mataku paman ini keren banget. Lelaki idamanku. Sayangnya dia pamanku. Ah, syukuri apa yang ada! Masyaallah… maaf.
“Apa tidak ada cara lain?” tanya Paman. Aku menggeleng kepala. “Baiklah. Siapkan seperti biasa, ya.” Kata Paman, setelah memutuskan. “Baiklah! Malam ini makannya hanya roti pandan. Untuk Anita juga sudah aku siapkan.” Balasku, melaporkan hal yang tidak penting. Paman hanya tersenyum melihat kepergianku.
Paman siap dengan gunting dan perlengkapan lainnya. Tinggal menunggu Anita yang sedang… entahlah, kenapa dia lama sekali? Aku pun menjemputnya ke atas. Tapi, belum sampai di kamarku, aku melihatnya bersembunyi di balik tembok. “Ada apa?” tanyaku tak mengerti. “Pamanmu selalu tampan ya, Tan.” Jawab Anita dengan pipi merahnya. “Mmm… iya juga sih. Ah, tapi jadi tidak nih? Paman selak lapar, lho.” Balasku, membenarkan perkataannya. “Haah… baiklah. Semoga jantungku tidak terdengar sampai ke telinga pamanmu, ya.” Kata Anita. Aku tidak menanggapi perkataannya itu.
“Mau model seperti apa?” tanya Paman saat ia melihat kedatangan Anita. Wajah Anita pun memerah. Rasanya saat melihat wajah malu Anita membuat perutku tertawa. “Ngghh… yang tidak menyerupai laki-laki yang pasti.” Mendengar itu, entah kenapa Paman memalingkan wajahnya untuk tertawa. “Eh…” kata Anita tak mengerti. “Ah, bukan apa-apa. Ayo mulai.” Paman mulai memotong rambut Anita. Entah kenapa, setiap pergerakan paman, membuat pipi Anita merona. Itu membuat perutku sakit saking susahnya untuk menahan tawa. Ya ampun… itu seperti bukan Anita banget!
“Shampo Anita merk apa?” tanya Paman di tengah pekerjaannya. “Ah, shampoo *** *** *** .” jawab Anita. “Begitu. Shamponya memang wangi, tapi tidak cocok untuk tipe rambut seperti milik Anita. Coba cari shampoo lain seperti *** *** ***.” Kata Paman menyarankan. “Ah, baiklah!” jawab Anita mantap. Paman pun tertawa kecil mendengar jawaban Anita.
*** *** *** 

INGATAN YANG KEMBALI 1

Apa kalian tahu, aku berdoa kepada Tuhan agar kalian menyukai cerita ini, karena cerita ini sungguh-sungguh aneh. Tapi anehnya aku paling menyukai cerita ini. Yah, meski malu melihatkannya, silahkan dinikmati....

AWAL KEDEWASAAN (Kamis)


                Yang pertama ku alami saat itu. Saat malaikat bertamu ke rumahku, memberitahu tibanya kedewasaanku. Saat itu aku belum tahu. Hanya karena sakit perut, membuat orang kesakitan yang berlanjut. Pagi-pagi sekali, aku entah  kenapa perutku terasa dihantam oleh moil dengan kecepatan tinggi. Rasanya tidak mungkin untuk aku masuk sekolah, namun aku berusaha untuk tidak mengeluh saat melihat Paman yang sudah susah payah membuat sarapan dan membawakanku bekal. Akhirnya aku pun masuk sekolah bersama rasa sakit yang makin parah. Dan seperti yang sudah aku tebak, saat pelajaran pertama, wajahku pucat. Namun yang menyadari itu hanya teman sebangkuku, sahabat kecilku yang selalu setia menemani kisah hidupku, Anita. “Kau baik-baik saja, Tania?” tanya Anita, terlihat mengkhawatirkanku. “Entahlah. Aku tak mengerti, An. Jangan bilang siapa-siapa, ya. Sebenarnya, rasanya seperti pipis di celana, An. Tapi sayangnya aku tidak merasa ada air di celanaku.” Jawabku, mendekatkan mulutku pada daun telinga Anita. “Eh… Jangan bilang kau belum pernah dapet.” Balas Anita, menatapku tak percaya. “Auh… jika maksudmu datang bulan, pastilah jawabannya ya.” Jawabku, menahan rasa sakit perutku ini. “Gawat! ! ! ! Kau sudah pake, kan? ” tanya Anita. Aku hanya menahan rasa sakitku, tak menjawabnya sama sekali. Namun kelihatannya dia mengerti tentang diriku tanpa aku katakan sekalipun. “Gila, merepotkan sekali kau ini.” Keluh Anita, beranjak dari tempatnya. Ia pun minta ijin pada guru untuk ke kamar mandi. Yah, aku mengerti akan kebaikannya.
Aduh… gawat… memangnya sesakit ini, ya? Astaghfirullah… Tuhanku… God… manteb deh sakitnya. Untungnya aku duduk di belakang, jika tidak mungkin akan terlihat lebih parah dari ini. Dan semua orang bisa membuatku malu. Alhamdulillah… A, ah…
Tak lama, Anita pun datang tepat bel istirahat berdering. “Sebaiknya kau pulang. Biar aku antar.” Katanya, seraya mengeluarkan sesuatu berbentuk kotak berwarna putih. “Eh, bukankah ini… kan belum tentu aku…” kataku, diputus oleh telunjuk Anita, “Sssttt… coba berdiri.” Aku pun mengikuti perintahnya. Dan, oh, God! ! ! ! Bendera Jepang berkibar di pantatku! Aaargghh… Masyaallah… aku pun langsung menutup bendera Jepang itu dengan cepat. “Bagaimana?” tanya Anita, meminta pendapatku. “Aku tidak bisa membantah perkataanmu. Tapi, bagaiaman denganmu nanti?” jawabku, pasrah. “Tenang saja. Jangan pikirkan yang lain.” Balas Anita, membulatkan telunjuk dan jempolnya. “Terimakasih.” Kataku, melingkarkan jaket pada pinggulku.
Akhirnya aku bersama sahabat kecilku ini pulang ke rumahku setelah diijinkan oleh guru BK. Karena di rumah ini hanya ada aku dan Pamanku, jadi rumah yang cukup besar ini terasa sangat sepi. Apalagi di pagi ini yang paman pasti sedang pergi bekerja. Kemudian, Anita pun mengajariku banyak hal tentang ini-itu. Yah, meski terkadang hal ini-itu sedikit memalukan. Yah, biasalah, namanya juga tentang menuju kedewasaan.
Setelah matahari terbenam, barulah Anita pulang. Aku sungguh-sungguh berterimakasih padanya. Sungguh-sungguh bersyukur pada Allah karena memiliki teman, sungguh, teman yang baik hati! Ugh, nyaris banget air mataku mengalir di pipiku saat Anita akan pergi. Hahaha… memang berlebihan diriku, namun lihatlah, ini sudah sore, lho! Dia membantuku dari jam 10 pagi hingga 5 sore, siapa juga yang tidak tersentuh?
Adzan maghrib pun berlalu. Rasanya aneh jika tidak mengerjakan shalat. Tapi jika kali ini aku shalat, sudah dipastikan aku berdosa. Suara mobil pun terdengar di telingaku. Dengan cepat aku menyusuri tangga menuju gerbang rumah dan membuka gerbang itu. “Assalammu’alaikum…” sapa Pamanku dari dalam mobil. Aku pun menjawab salamnya. “Wa’alaikumussalam. Paman sudah pulang? Malam ini dinnernya cuma udang goreng. Tidak apa-apa?” Paman hanya tersenyum dan memasukkan mobilnya ke dalam garasi. Aku menutup gerbang. Paman pun membuka mobil dan menyuruhku datang mendekat. “Apa menurutmu pamanmu ini seperti orang yang tidak pernah bersyukur? Sudahlah, ayo, ambil air wudhu dan ke masjid.” Kata Paman, merangkul bahuku. Wajahku pun langsung memerah. Aku melepas rangkulan pamanku.
“Ada apa?” tanya Paman tak mengerti. Aku menggaruk kepalaku yang sama sekali tidak gatal. Kemudian aku memegang perutku, menatapnya. Sepertinya Paman mengerti apa yang aku maksud, buktinya wajah Paman memerah. “Hahaha… begitu… berarti Paman ke masjid sendiri, nih? Yah… gak asyik, nih!” kata Paman, merangkulku kembali menuju ke ruang keluarga. “Tidak apa-apa nih, di rumah sendiri?” tanya Paman, terlihat khawatir. “Paman jangan khawatir. Aku sudah SMA. Udah mau lulus bahkan. Paman don’t afraid.” Jawabku, menenangkan hati Paman. “Karena dari itu, kamu sudah beranjak dewasa, Paman jadi sedikit khawatir.” Balas Paman, mengelus kepalaku. “Masyaallah… cuma mau ke masjid saja di dramatisir, sih!? Sudahlah, Paman, cepat ke masjid, adzan telah berkumandang sedari tadi.” Balasku, mendorong paman masuk ke dalam kamarnya.
‘Dewasa, ya…’ gumamku, menuju kamar. Benar juga, aku sungguh-sungguh beranjak dewasa. Mama, Papa, anakmu sudah berkembang. Tuhan, semakin aku berkembang, kumohon, jangan jerumuskan aku pada jalan kesesatan dan jalan kegelapan. 
*** *** ***